SEPTEMBER
Sekat
Ada
semburat cahaya yang merambat naik dari tirai-tirai bambu diteras depan rumah.
Dedaunan kembali menghijau, meregenerasi. Barisan bunga di pepohanan datang
menghiasi, melengkapi setiap dahan yang baru tumbuh. Air genangan di bahu
jalanan mulai meninggalkan tempat dan menyisakan debu-debu yang mengering.
Aku
kira semua akan segera punah seiring hujan yang berhenti. Aku kira semua rasa
akan dibawa pergi begitu saja tanpa minta kembali. Tapi, ternyata salah, aku
mengapung menerbangkan seluruh angan pada pria ini, dia yang sejak awal bola
mataku tak berlari kemanapun, hanya dia, tertuju pada bola mata cokelat
miliknya. Aku terus bermain bersama sang waktu yang kian asik, semesta sudah
baik mengizinkan bolamataku beradu saat itu, hingga menyisakan sepekat rasa
yang masih penuh tanda tanya. Sayangnya aku tak mempedulikan itu. Aku masih
saja bersenandung sepanjang jalan, dan berharap waktu mampu diberhentikan
sekejap. Mungkin, rasaku sudah bersahabat dengannya, karena keterlibatan yang
berawal tanpa sengaja justru membuat teka-teki yang harus ku selesaikan dengan
baik, tanpa harus merusak nilai lainnya.
“jam
tangan gue masih di elu? Boleh gue ambil? Besok mau balik ke Jogja, biar gue
benerin sendiri aja.” Ucapku dalam pesan singkat.
Sebenarnya,
dia bukan pria yang pantas untuk diharapkan, kalau bukan jam tangan itu, tidak
ada lagi pesan singkat yang masuk dariku. Aku yang memberhentikan sejenak
permainan semesta atas dasar dirinya, karena sebelum menjatuhkan tatap, aku
tahu ada tatapan lain dari bolamata yang merindukannya.
“iya,
wira anter ke kos nanti. Lagi dikoskan?” balasnya
“iya.”
“uda
makan?”
“ini
lagi beli makan.” Aku perlu waktu lama untuk membalas pesannya, aku pun perlu
memutar balikkan permainan ini.
“jangan
makan dulu, bentar lagi wira kesana, tunggu. Udah gak usah dibalas.”
“hah?”
ucapku dalam hati. Dan jam tangan pun
menjadi alasan untuk dipertemukan lagi. Aku tak pernah meminta ia untuk datang
lagi, meneruskan permainan sebelumnya. Aku sudah terlibat cukup banyak dalam
ceritanya dan ada hati yang aku sakiti perlahan. Salah? belum selesai.
Perbincangan yang dua minggu sempat
terputus pun kini tersambung kembali, narahubung yang disimpan kembali hadir,
dan aku mulai mengabaikan narahubung diluar batas. Sedetik mengartikan yang
pernah hilang, pergi, pamit tanpa izin. Begitu jelas pertemuan membawa
kenyamanan, meninggalkan cerita yang tak usai diselesaikan. Kini aku dan pria
bernama Wira kembali menikmati waktu-waktu yang ada dan perlahan melupakan
kenyataan yang sebenarnya, bahwa status kedekatan ini telah melukai hati
perempuan yang tak bersalah.
“didepan,
bawa helm sekalian.” Katanya
Dan aku
pun keluar dengan santai dengan hati yang sedikit berdebar. Banyak tanya dalam
diri, berharap ia menjawab tanpa aku harus berucap. Tapi, itu tak mungkin. Aku hanya
mampu menyimpan ketidakjelasan ini, dan membiarkan permaianan terus berjalan.
“kenapa
harus sejauh ini buat makan? Gue cuman minta jam tangan aja loh.” Tanyaku
“gimana
kabar? Sehat?”
“nanya
apa, malah dibalikin pertanyaan.” Dan aku pun tak bertanya dan menjawab apa-apa
lagi, diam dan cukup menerka-nerka dalam pikiran.
Suasana kali ini berbeda, seakan
alam menyetujui sikapnya. Mendung, awan hitam mengapung-ngapung diudara, tidak
ada rintik hujan, matahari tenggelam lebih cepat dan aku hanya menyimpan
dalam-dalam pertanyaan yang tak mampu ku utarakan. “Bagaimana dengan perempuan
itu? Bagaimana dengan dirinya? Bagaimana dengan hubungannya?” bahkan aku
terlalu takut untuk memberikan pertanyaan itu.
“abis
ini mau kemana?” tanyanya
“baliklah,
jamnya mana?”
“iya
sebentar, ada kok.” Jawabnya, dan seketika ada telfon masuk dari handphonenya. Ternyata
orang tuanya, meminta dia untuk datang kerumah saudaranya yang tak jauh dari
tempat kami makan.
“kerumah
bude dulu ya.” Ajaknya
“hah? Mau
ngapain? Gue balik ajalah, gak enak. (mau ngomong apa gue)”
“ini
loh, ayah nyuruh ke sana. Bentar aja kok, gak usah balik, udah santai, bude orangnya
asik kok.”
“lah,
kalau ditanya-tanya, mau jawab apa?”
“ya
tinggal jawab.”
“(hening)”
Kita mungkin cukup dikata dekat,
tapi melihatnya kedekatan justru memberikan arti sekat. Sejauh apapun aku
melangkah untuk memberi batas, sekat seakan kian mengikat dengan pekat dan
membuatku tetap berdiri disamping tanpa harus berlari lebih jauh lagi untuk
pergi. Terkadang ini menyesakkan,
karena aku tak mampu melepaskan. Dari keasingan aku belajar menerima, dari
perbatasan aku belajar menyimpan. Semesta hanya meminta aku untuk menikmati
waktu yang tlah diberikannya dengan baik dan bermain sebanyak yang aku mau.
Sejak perkenalan yang dimainkan
semesta, aku mulai menerima bahwa hati perlu dibangunkan kembali. Aku tidak
pergi jauh meninggalkan narahubung lain. Aku hanya sedikit membiarkan pertanyaanku
menumpuk dalam hati, dan menikmati saja permainan yang sudah dimulai lagi bulan
ini. Bahwa sekat dibulan september, sementara waktu berpindah, dan berharap
sekat hanya singgah.
Komentar
Posting Komentar