AGUSTUS
Akhir ?
Aroma basah tanah mulai menipis perlahan.
Hujan mulai jarang datang. Tanah kembali mengering, dedaunan mulai menguning,
selamat datang musim panas. Gumpalan awan hitam pun berangsur sirna dari hari
kehari, nampak bergairah tiap detik seiring terik matahari yang menyelimuti. Musim
berganti, setiap waktu tanpa henti tetap dinikmati. Aku, masih disini dikota
yang belum berakhir aku tuliskan.
Aku masih diperkenalkan oleh sesosok pria
yang menyuguhkanku dengan es krim, susu ultra, dan cokelat hangat. Semesta melibatkanku
untuk masuk dalam perbincangannya dan ku kira semua akan ikut mengering seiring
musim yang berganti. Namun, ternyata tidak. Aku bukan satu-satunya perempuan
dalam pilihan pembicaraannya, bahkan aku pun bukan satu-satunya perempuan yang
pernah jatuh dalam perhatiannya. Katanya dia adalah sosok pria yang
menenangkan, tempat kepulangannya aduan, serta pria yang menyenangkan dengan tingkah
konyolnya. Aku rasa teriknya mentari sudah mencairkan suasana yang kubuat jauh
dari beberapa bulan sebelumnya dan permainan pun dimulai.
Matahari memang sedang terang-terangnya
untuk sebuah waktu siang hari. Cukup membuat kulit menghitam perlahan, membuat
tenggorokan seringkali kering kehausan. Tapi, apakah lantas berhenti untuk
berbincang? Tidak, justru aku terus mencari kemana arah perbincangan ini
berakhir. Dia yang tlah memulai, jauh sebelum mataku tertarik padanya. Setiap
waktu seakan aku diikat oleh sesuatu yang tak mampu ku lepaskan. Entah,
rasa-rasanya permainan ini semakin membuatku nyaman.
Ada yang pernah bilang bahwa setiap benda
mati yang terpajang akan merekam semua pembicaraan. Berapa banyak benda yang
sudah aku libatkan disini? Dikota ini? cangkir antik, jam tangan yang terpecah,
parfum, lampu pinggir jalan, meja kayu, notebook, jaket, trotoar, handphone,
dinding, setrika. Bagiku semua itu adalah racun, yang harus ku bunuh sebelum
habis membakar jiwaku lebih dulu. Ada banyak keraguan yang aku temukan, ada
banyak kekhawatiran dan ada banyak rindu yang aku simpan.
Aku tak pernah meminta berhenti untuk
yang sudah dimulainya, perbincanganku dengannya menjadi yang paling klasik
didengar dari beberapa teman. Dia tak memulai menceritakan kesukaanya, atau
membanggakan dirinya dengan apa yang dimilikinya, dia sebatas menceritakan
dirinya dari yang ia tidak ketahui dari dirinya. Tahu? Sebelum semua menjadi
permainan menyakitkan, kami dari sepasang sepatu yang saling berjauhan. Sampai akhirnya,
ada celah untuk berdiri tepat disampingnya. Rasa ingintahunya mulai membara,
dan bertanya padaku tentang dirinya. Melalui gambar, aku mulai sedikit
mengenalinya. Tidak banyak, aku hanya melihat dari apa yang aku lihat. Selepas
itu, mudahnya ia bercerita semua tentang dirinya, setelah aku memberikan klu
dari gambarnya. Perbincangan dimulai, dan tak berhenti.
Singkatnya, dia slalu berhasil membuatku
terus berada didekatnya, mendengar segala ceritanya. Ternyata, ia yang lebih
banyak menyimpan, banyak berkamuflase, dari yang ku kira dan untuk kesekian
kalinya ia menangis dihadapanku, setiap kali ia bercerita masalah yang
menurutnya berat. Aku pun semakin membaca dirinya, dari mata, sikap, dan
pengalaman-pengalamannya. Aku akui, dia pria hebat untuk sekelilingnya,
terlebih keluarganya. Banyak hal, terlalu banyak hal yang terekam dalam perjalanan
itu, tidak hanya benda mati, cuaca, waktu, seakan menarik aku jauh lebih dalam
lagi jatuh padanya. Padahal semua sudah jelas, ada perempuan lain yang juga ia
perjuangkan. Perempuan yang lebih dulu mendengar cerita-cerita darinya. Perempuan
yang lebih dulu digenggam tangannya. Perempuan yang lebih dulu dibuat senang
hatinya dan perempuan itu, perempuan yang sudah menemaninya selama dua tahun
belakangan. Sedang aku? aku hanya pendatang, yang dituntut untuk mendengarkan. Lantas
untuk apa aku bersandar dan bertahan? bukan untukku, tapi semua itu untuknya.
Ada bola mata yang kehilangan ketenangan,
ada pundak yang kehilangan sandaran, dan ada jemari yang kehilangan genggaman. Entah
dari kapan, aku melihat jelas itu pada dirinya. Aku hanya mengisi, sebatas
kemampuanku. Sejak itu, aku menjadi pasif, aku seperti lampu yang setengah
meredup. Aku berusaha menciptakan perbatasan, karena aku tahu ini akan meluas. Dan
benar saja, ternyata ini sudah melampaui batas.
Akhiri?
💕 akulah hati yang telah kau sakiti..... 😂
BalasHapussudah terlatih karenamuuu 😂
HapusAku tau siapa yang kau maksud 😂
BalasHapusYang jelas bukan andaa 😝
Hapus