Pulang Kepemakaman
“Pada bagian batas ruang, semesta hanya
ingin ikut bercengkrama antara rindu dan sebuah kepulangan.”
Angin malam berbisik dengan pelan penuh
hangat. Tepian jalan mulai menyepi seiring irama suara jangkrik yang bersahutan
dengan kencang. Langkah-langkah kaki dipinggiran mulai merebahkan ketepi bangku
dan menyandarkan diri pada sebuah kepulangan. Kali ini, aku ingin pulang. Tapi
entah pada kepulangan keberapa harus diartikannya lagi, dan tempat mana yang
siap menerima tubuh yang mulai tak berdaya.
Kepulangan ini mengerikan, dikisahkan
dengan kepergian yang tidak jelas. Mencari dengan tidak hormat, diabaikan setelah
dicaci jiwanya. Hingga sisa raga tidak lagi merindukan kepulangan. Diam, tidak
meratapi, tidak menghabisi, tidak dibenci. Diam, yang kehilangan akal, apa lagi
kepulangan dan kepergian. Pulang, tidak kembali ketempat yang menaburkan cerita
kebaikan dengan sebuah kehangatan pelukan. Kepulangan harus lagi dicari dengan
baik meski terkadang slalu dilewati.
Malam mengisahkan langit dengan ribuan
bintang bergemerlap cahaya ditengah kegelapan cakrawala. Lalu, bising-bising
diudara mulai memudar berganti sua-sua dari jutaan tanya yang berbisik pelan.
Hingar dikeramaian, membuat udara makin sesak mengartikan kehadiran yang tidak
berucap. Diantara gelap-gelap langit yang tak bersalah, tidak ada sunyi yang
berakhir damai atau tidak ada sunyi yang memutuskan untuk berhenti ditengah
pertanyaan basi. Gelapnya langit, sunyi yang tidak berdamai, dan hal-hal yang
mengacaukan rotasi slalu menyadarkan akan sebuah kepulangan. Keterpaksaan tanpa
sengaja semakin membuat kaki berjalan meronta, tidak lagi kuat. Jika kepulangan
tetap mengerikan, lalu semesta akan bertindak mengaburkan rasa-rasa yang tidak
terdistraksi diantara kemungkinan buruk. Pulang, lalu kaki terhenti
diantara batasan garis dimensi. Pulang, dan memilih kaki ditemani kerumunan
angin lirih.
Pada batasan ruang antara aku dengan
seorang perempuan, mengisahkan sebuah kerinduan. Kerinduan untuk kembalinya
kepala pada pundak yang tegap, pada mata yang berbinar, pada jemari yang
menyigap, pada tubuh yang tidak gusar. Diantara kenyataan, kepulangan membawa
airmata pada tempat-tempat pengistirahatan terakhir. Kepulangan menumpuk rindu
diantara kenyataan basah tanah yang tidak pernah dihadiri. Kepulangan itu
adalah pemakaman. Pemakaman seorang perempuan yang aku sebut ia Uti. Seorang
perempuan yang kuingat terakhir rambutnya memutih. Seorang perempuan yang
kuingat terakhir badannya mengurus. Seorang perempuan yang kuingat terakhir
tidak ada kepekaan untuk aku bertanya “apa uti sakit”. Lalu, jutaan, ingatan
mengacukan dengan penyesalan yang terlambat dan airmata membasahi pipi serta
tempat istirahatnya.
Saat kaki mulai belajar menguatkan
berjalan, ada suara-suara yang meyakini bahwa aku harus berproses sejak kecil
dan bisa saja. Saat kaki mulai terkulai lemah, ada suara-suara yang meyakinkan
diri bahwa tubuh masih saja sekuat baja dan bisa saja. Sejak itu, semua ingatan
memaksa untuk mempercayai suara-suara yang menguatkan. Uti. Seorang perempuan
yang saat ini memanggil aku untuk kembali bersandar dibahunya, lalu
jemari-jemari mulai merambat mengusap tubuh yang tidak berdaya. “oh noo, aku
tidak sekuat uti. Aku tidak sekuat anakmu. Ibu. Aku tidak sekuat suaramu saat
itu.” Dan bayang-bayangnya mulai mengantarkan airmata, lalu peran-peran
pengganti mulai merusak diri.
Munafik, dengan hebat berperan diantara
topeng-topeng. Aku bukan pementas juara, aku bukan pemeran handal layaknya
aktris film hollywood. Aku hanya pementas yang suatu waktu berubah peran dengan
kepribadian yang berbeda sesuai permintaan lingkungan. Aku pemeran hidupku
diantara sandiwara yang memprihatinkan. Kemudian, semua orang menertawakan diri
yang tidak bisa membalas bahkan semesta pun ikut tertawa. Sejak itu aku
kehilangan tatap, aku kehilangan kekuatan berdiri untuk menikmati sisa hidup,
seperti uti. Dan kehadiran pun terus menerus menguak kesesakan. Aku kembali
berjalan sendiri, tanpa tahu kemana lagi tempat kepulangan, tempat melabuhkan
tatap dengan tenang dan merebahkan tubuh dengan damai. Kepulangan itu yang aku
tahu hanya uti, diantara jemari yang tulus memanja dan diantara kata yang
menguatkan kenyamanan, uti.
Teringat jelas diskusi terakhir yang
membuat hadirmu masih melekat disetiap hariku “kapan pulang, cah ayu?” , lalu
aku terdiam dibatas telfon “hmmmm”. Saat itu tidak ada kata yang ingin terucap,
bahwa aku pun menahan rindu yang belum saja tersampaikan dan memulangkan
tatapku pada retinamu. Dan lagi, dering telfon tidak hentinya
bersuara.
“Sawo, depan rumah lagi panen, mangganya
juga. Ditunggu yaa.”
“iya, mbah, nanti libur sekolah aku
kesana.”
Lalu, suara berganti “neng, kesini aja
naik bis, nanti dijemput om di terminal. Berani gak?”
“berani om, tapi sekolah aku belum libur.”
“yowes,” akhiri diskusi sore itu.
Firasat
tidak berperan dengan semestisnya, dan aku tahu firasatku baik-baik saja. Tidak
tahu kepulangan, tidak tahu berkabar dengan manja, tidak tahu bersandar dengan
hormat. Sampai waktu memberhentikan kenyataan yang aku buat sendiri.
“mbaaa...mbaa...mbaaa” terdengar suara
rintih dan terseda-seda.
Aku tahu itu bulekku, kemudian jantungku
mulai berdebar kencang, belum memahami peran firasat yang buruk. Ternyata
diakhir telfon “simbah udah gak ada, mba.” Seketika kakiku terkulai
selemah-lemahnya, sakit luar biasa, dan teringat diskusi sore saat itu.
Rasanya, ingin aku berteriak dan meminta pada Tuhan untuk tidak mengambilnya,
untuk tidak sekejam ini. Airmata yang slalu kusimpan ketika rinduku memuncak,
saat itu juga tumpah ruah bak sungai yang mengalir dengan derasnya. Aku
membenci diriku seketika. Aku membenci semesta yang slalu tidak berpihak
padaku. Aku benci, aku benci. Kepulangan uti, membawa ku pulang dengan rasa
yang bisa dikata “kurang ajar”.
Aku
memikirkan janji-janji disetiap diskusi sore denganmu, uti. Di bangku-bangku
tua, diantara keheningan pedesaan jogja, aku melemahkan diri didepanmu. Mendengarkan
ceritaku, meski hanya sebatas baju kakak. Mendegarkan ceritaku, meski hanya
sebatas sakitnya perut. Mendengarkan ceritaku, meski hanya sebatas rambut yang
tidak ingin dikuncir. Lalu, beranjak seiring masaku berkembang. Mendengarkan
cerita keluh kesah dari fananya sebuah hubungan, fananya hidup yang seringkali
tertawa hebat. Dan kaupun berpesan dengan binar kedua mata yang entah harus
diartikan apa “hidup, hidup itu bersosial. Jangan menyakiti, kasih kehangatan
untuk orang lain, terus minta sama Allah, cerita sama Allah.” Ingin rasanya
detik waktu saat itu memberhentikan jantungku ditengah pelukanmu diantara
airmataku. Tapi, bukankah aku harus menerusi pesan-pesanmu, membuat semesta
tertawa bersamaku?
Aroma
basah tanah pemakaman mengembalikan rindu-rindu yang tidak tersampaikan saat
beradunya tatap. Aku pulang, aku ingin pulang memeluk pemakaman dan kembali
bercerita dengan bunga-bunga mawar yang aku bawa sebagai hadiah untukmu. Uti,
biarlah kepulanganku berjarak antara batasan ruang, tapi bolehkah aku memintamu
datang lagi kemimpiku setiap malam? Lalu memperlakukanku seperti saat aku masih
belajar bersepedah? Bawa semua rindu yang aku punya, dan tetap sisakan. Sesal
yang tiada akhir ini, membuat mulut menjadi pengingkar dan terkadang aku
membencinya. Aku perlu berdamai, berdamai akan sebuah kehadiran, kepergian dan
kepulangan. Namun, aku terlalu takut. Takut suatu waktu, waktu memberhentikan
segalanya dan aku kembali berjalan sendiri. Nyatanya, aku tidak sekuat saat
adanya hadirmu. Uti.
Kali
ini, rindu-rindu bermain dengan gempar, berkeliling diantara ingatan yang
sempat memudar. Lalu menampar dengan sangar bahwa aku kembali kepemakaman.
Komentar
Posting Komentar