Hujan yang penuh Amarah
HUJAN YANG PENUH AMARAH
“Sandarkan jemari pada pelukan yang
hangat. Biar ingatan tidak terus melukai dengan ketakutan.”
Sore
itu, gemericik air terdengar paling syahdu diantara suara keramaian diluar
jendela. Rintikan hujan lagi dan lagi membasahi tanah dan gedung-gedung disudut
kota yang semakin hari semakin sesak. Bulan ini, air sedang senang-senangnya
jatuh dari langit untuk membasahi seisi bumi. Namun, tidak sesenang itu orang
menyukai suasananya. Terkadang, dibalik dedaunan orang berteduh sambil
mengutarakan kekesalannya pada hujan. Belum lagi, anak-anak yang dimarahi
karena bermain hujan-hujanan dan dibencinya. Padahal, aroma basah tanah saat
diguyur hujan bisa saja mengalahi aroma biji kopi yang baru saja dihancurkan
dan menjadi pereda kepenatan dari padatnya aktivitas.
Dibalik
jendela yang bening, air mengalir dengan deras dan terlihat sangat jelas. Dibalik
itu kekacauan dari sebuah ruangan mulai terdengar dahsyat. Pernak-pernik hiasan
ruangan mulai berjatuhan dari tempatnya. Vas-vas bunga, patung-patung kecil,
hiasan mainan, bahkan sekalipun cangkir-cangkir yang bersinggah diatas lemari
pun hancur berkeping-keping. Suara yang mengalahkan bisingnya kendaraan dari
knalpot anak motor. Suara yang mengalahkan dari bisingnya suara mesin pabrik,
dan apapun itu adalah suara teriakan ibu saat merintih kesakitan.
Hujan
terkadang amat sangat jahat, ketika kekacauan itu justru diiringinya. Kenapa bukan
luapan api saja yang menghanguskan seisi ruangan saat itu? Kenapa harus hujan,
kenapa ketika hujan? Untuk meredamkan apa yang sudah membara? Ah, iya tapi
hanya sesaat. Diselah-selah bangku disudut kamar slalu ada yang duduk terdiam
menekuk kedua kaki sambil menangis. Ia tak pernah bisa bersua, menghentikan
benda-benda diruangan berjatuhan atau menghentikan jemari-jemari merusak isi
ruangan. Tidak, tidak bisa. Ia belum sekuat itu untuk melawan api yang berkobar
dengan cepat. Hujan dan kekacauan adalah pertengkaran dahsyat untuk sekedar
menghiasi ruangan. Ruangan yang dahulu sempat menjadi idaman, menjadi perbincangan
manis untuk dihiasi, bahkan menjadi tempat yang tenang untuk merebahkan tubuh
ketika kembali. Tapi, saat ini? tidak ada perbincangan manis diantara secangkir
teh dan kopi. Tidak ada impian yang mengidamkan dengan manja, dan tidak ada
sandaran tanpa goresan. Semua kini penuh luka, seisi ruangan penuh luka.
Hujan
yang turun membasahi ruangan tidak membuat udara menjadi beku dan dingin. Udara
justru semakin memanas, seiring emosi yang meluap-luap tak bisa dikendalikan. Hanya
seorang perempuan yang kau lampiasi dengan dahsyat. Tidakkah kau sadar,
perempuan itu yang slalu dibelakangmu saat jatuh dan bangun. Tidakkah kau
sadar, perempuan itu sudah menemanimu selama puluhan tahun, tapi apa hanya
sekejap kau menghancurkan segala isi hati yang sudah dipenuhi untukmu? Oh,
tolong. Ia memang tidak sehebat yang kau kira, ia hebat bagi anak-anaknya, ia
kuat bagi anak-anaknya. Tidakkah kau sadar ada yang bergemetar khawatir ketika
kau tak pulang? Menunggu hingga berlarut-larut malam, menyiapkan makanan
kesukaan hanya supaya kau terisi asupan energi. Menyiapkan pakaian untukmu
bekerja, agar terlihat rapih dihadapan orang. Menyiapkan air hangat agar kau
tak sakit kedinginan setelah pulang. Mendoakanmu dalam perjalanan pergi
bekerja, mendoakanmu dalam mencari rezeki agar kembali dengan senyuman. Tidakkah
kau lihat itu? Mungkin itu, kau
digelapkan oleh amarahmu sendiri. Hingga, tidak melihat seberkas kehidupan lain
dalam ikatan keluarga.
Pecahan
kaca yang berserakan disetiap sudut ruangan sudah menjadi teman makan
lantai-lantai dan jemari. Mereka slalu bermain dengan girang ketika melukai
bagian tubuh seseorang. Hingga ia mengeluarkan cairan berwarna merah kental. Darah.
Tidak ada amarah yang dihentikan sebelum cangkir itu hancur, tidak ada amarah
yang dihentikan sebelum ada cairan merah yang menanggung. Harukah itu aku? dan
selalu aku? diselah bangku, pertengkaran dahsyat dan pecahan kaca yang menjadi
daya tarik aku untuk menghentikan waktu sekejap. Biar saja luka terlihat, aku
puas. Biar saja darah bercucuran, aku tahan. Aku hanya ingin memberhentikan
kobaran api yang merusak hujanku setiap hari. Aku takut, tapi kau tak pernah
melihat itu. Mungkinkah aku hanyalah debu yang tak kau ingini. Aku slalu takut
melihat jemari yang terkepal. Bayangku adalah aduan yang terus menerus sesal. Kau
seakan memberhentikanku untuk melihat sisi lain dari seorang pria. Kau mengacaukan
hasratku untuk menyukai orang lain.
Teriakan,
bisingan benda yang berjatuhan, jemari yang mengepal, tatapan tajam, selalu
saja teringat saat hujan mulai membasahi perlahan tanah. Ada langkah kaki yang
berjalan terseret-seret. Ada bola mata yang bertugas lebih ekstra melirik kanan
dan kiri. Ada kepala yang menunduk takut
ketika berhadapan orang lain. Ada tubuh yang menghindar ketika ada jemari yang
bersandar menguatkan. Itu aku, itu aku dengan segala ketakutan dan
kekhawatiranku dengan orang berjenis laki-laki. Meski, aku sadar bahwa tidak
semua pria bertindak kasar sepertimu. Tapi, tidakkah kau menghancurkan psikisku
ini? dengan sigap kau daratkan jemarimu pada tubuh seorang perempuan yang tidak
berdaya, kau lukai hatinya, kau juga lukai tubuhnya. Dimana sikap kejantananmu?
Aku berat untuk menyebutmu “ayah”, mulutku enggan berucap menyebutkan namamu. Setiap
kali aku memanggilmu, istana yang kubangun sejak kecil hancur sekejap dengan
guncangan gempa maha dahsyat dan terhempas ombak lautan hingga menyeret
sisa-sisa bangunan diujung pulau, tidak berpenghuni. Hatiku kosong, entah
diartikan apalagi.
Ribuan
serpihan kaca sudah mendarat dengan manis pada lengan-lenganku. Mengukir indah
setiap pertengkaran kala hujan. Hingga mengering dan terluka lagi. Sakit, tapi
tidak sesakit saat aku melihat ibuku dihabisi. Boleh saja aku menghabisimu
juga, tapi ibu? Ibu slalu mempertahankanmu apapun sikapmu. Disudut-sudut ruang
sudah banyak retakan, pernak-pernik hilang, barisan cangkir berkurang, jendela
serta dinding-dinding retak, pintu-pintu rusak. Haruskah kusebut ini gubuk? Bukan
rumah. Haruskah kau bertahan dalam ikatan suci ini?
Tahun
ketahun aku merekam semua kejadian dari satu tetes air hujan hingga jutaan air
hujan yang membasahi bumi. Terekam jelas, kedahsyatan sebuah hubungan. Mereka
tidak fana, tidak semu. Mereka nyata namun saling menyakiti. Bangunan yang
kusebut ruang itu sudah habis, beserta isinya. Lantai dan dinding-dinding
menghitam, amis. Kumpulan darah yang mengering dengan percuma. Bangku-bangku, kehilangan
kaki, karena dibanting sana dan sini. Ruang
itu mengusang, hujan pun tinggal hujan, merambat kedinding-dinding bangunan. Sudah
merapuh, sudah tidak berdaya. Layaknya aku, yang menjadi selemah-lemahnya
perempuan. Tidak ada tempat tertenang untuk memulangkan kedua bola mata yang
lelah. Tidak ada tubuh yang direbahkan dengan tenang, ketika lelah menjarah. Aku
seakan hilang arah, bersama ketakutan-ketakutan yang kau ciptakan dan aku
ciptakan. Pada tatap yang menajam, pada jemari yang mengepal, pada sua yang
meninggi, pada kaki yang menghabisi dan pada suara benda yang terjatuh. Kenalkan
aku, luka yang bersimpun darah untuk meredam lirih dari pertengkaran hujan maha
dahsyat.
@sagita_deskia
Komentar
Posting Komentar