Senja Terakhir
Senja
Terakhir
“setiap tempat
adalah kenangan”
Garis-garis hitam beradu dengan
polkadot merah mewarnai disetiap dinding jendela kamar. Vas-vas bunga yang
dibiarkan menggantung diantara dinding jendela kamar menjadi aksesoris tambahan
yang membuat dinding terlihat cantik. Ada yang menarik disetiap benda yang
menggantung. Kau tahu ? itu adalah bunga-bunga yang slalu kau ceritakan.
Bunga-bunga yang slalu ada dalam hiasan jendela kamarmu. “ada yang slalu
menyejukkan, selain menghirup udara pagi, ada yang slalu meneduhkan selain
melihat langit membiru diawal hari, yaitu barisan bunga yang menggantung, yang
menjadi pelengkap warna diawal pagi.” Itu adalah kalimat terakhir yang kau
ucapkan sebelum semua berakhir.
Pertemuan tersingkat yang pernah aku
alami adalah pertemuanku denganmu. Sore itu, dimana langit tak sebiru biasanya,
berlapiskan sang awan yang menggantung membuat sebuah temu menjadi penuh makna.
Ada yang tertinggal ketika bola mata saling beradu. Ada yang berbeda ketika
retinaku jatuh dihadapanmu. Ada yang berbeda pula dari perasaanku. Entahlah,
mungkin saja ia sudah berlabuh, sudah menyandarkannya di dasar hatimu. Namun
kau ? tetap pada kedinginanmu. Begitu saja.
Langit berganti, mentari perlahan
tenggelam. Menandakan hari akan segera gelap. Semburat sinar mentari yang
merambat turun beradu dengan serat-serat awan putih menjadi pemandangan yang
luar biasa. Senja. Keajaiban langit yang slalu ku tunggu bahkan kau pun juga.
Aku jatuh cinta pada sesuatu yang bersifat sementara. Seperti senja. Ia tak
slalu hadir disore hari, tapi aku slalu menunggu. Ia tak slalu bertahan, ia
slalu pergi kala waktu mengharuskannya berakhir. Senja.
Waktu
di senja hari itu, melukiskan banyak warna dalam pertemuanku denganmu. Meninggalkan
cerita perkenalanku denganmu dan menyisakan bekas rasa yang masih saja tak
jelas diartikan. Apa ? kau pun tak akan paham tentang ini. Lihatlah, sikap
dinginmu masih saja bersahabat dengan tubuhmu. Bahkan membuatmu tak sadar akan
hal itu, dan aku ? aku merubah diriku menjadi api yang slalu berusaha
menghangatkanmu, mencairkan bekunya sikapmu. Bodohnya, aku justru menyukaimu.
Menyukai apapun dari sikapmu. Mungkin, aku sudah dibutakan olehmu. Dibutakan
oleh perasaanku. Siapa yang siap jatuh, maka
siap juga untuk sakit. Yaa, begitulah kira-kira.
Tentang
senja yang tak pernah sepi, tentang hujan yang tak pernah berdamai dengan sang
lalu dan tentang tempat yang bersahabat dengan ‘kenangan’-nya. Kau membuatnya
menjadi sesuatu yang magic. Vino, pria yang saat ini berhasil mengutuk
bayangku, membuyarkan lamunan mimpiku dan mengubah khayalku menjadi dirinya. Perkenalan
akan mengubah segalanya menjadi sesuatu yang tak terduga. Nyatanya, perasaanku
merubah status itu. Tapi kau ? tak merubahnya. Sampai akhirnya, aku yang
memupuskan sendiri dari segala harap yang tak tentu adanya.
Aku,
masih ingat jelas saat hujan pertama kali turun setelah musim kemarau berlalu.
Kau mengajakku pergi kesuatu tempat, yang aku sendiri tak tahu itu dimana. Seperti
biasa, scooter andalanmu menjadi transportasi paling tepat untuk digunakan
dikota yang mulai padat penduduknya seperti ini. Tak perlu berlarut-larut
dengan kemacetan serta suara klakson kendaraan yang merusak mood dan telinga.
Hujan turun pun dengan santainya kita berjalan, menikmati setiap tetesan air
langit yang jatuh membasahi wajah. Katamu “kasian si hujan kalau dibiarkan
jatuh begitu saja, hujan juga tak pernah salah, untuk apa menghindar ?”,
terlihat kau begitu menyukai hujan dan aku ? larut dengan suasana itu.
“eh,
dimana nih ?” (terlihat gedung tua yang tak berpenghuni)
“(vino,
menarik tangan kiriku, tanpa membalas pertanyaanku).”
“(menaiki
anak tangga), viin ga aneh aneh kan lo ?”
“(diam,
tak berkata sepatah katapun)” sampai akhirnya tiba diatas gedung.
“viin,
gilaaak. Gilaaak, viiin.” Melihat pemandangan kota dari atas gedung, terlihat
lampu-lampu pinggir jalan dan lampu kendaraan yang mulai bersinar, langit ? ia
masih diselimuti sipekat. Namun, terlihat pula diarah barat mentari yang
perlahan terbenam dan pancaran sinarnya yang berpadu oleh gelap. Magic.
“(duduk
tepat kearah matahari terbenam)”
“ah,
eloo. Udah buat gue basah kuyup, sampe kering lagi. Kalau gue sakit, tanggung
jawab lo. (membenarkan pakaian dan berjalan kearah vino)
Sebelumnya, tak semenarik ini aku
hidup. Vino, tahu betul keadaanku. Bagaimana tidak, kami slalu cerita masalah
yang kami hadapi, beban hidup, beban menjadi seorang anak sepertiku. Tapi, vino
tak pernah mengungkitnya, ia cukup menjadi pendengar yang baik dan membuatku
nyaman bercerita dengannya. Ia bukan seorang komentator yang hanya bisa
berkomentar tentang hidup orang lain. Dia, sidingin yang pandai menempatkan
diri. Begitulah.
Tak sepatah katapun terlontar dari
mulutnya. Ia sangat tenang dan sangat menikmati suasana sore itu. Aku tak lagi
menggerutu padanya, karena kehujanan dan kedinginan. Aku pun mencoba untuk
setenang dia. Berhasil dan aku pun larut dengan suasana. Sampai langit tak
terlihat birunya lagi, dan berganti gelap. Mentari yang sudah tenang kembali
beristirahat. Burung-burung yang hilir
mudik kembali kesangkar serta lalu lintas yang semakin ramai oleh kendaraan.
Kami segera pulang, karena tahu orang rumah pasti khawatir. Lebih tepatnya,
orang tua Vino yang khawatir.
Vino mengantarku pulang, namun
gagal. Aku tak ingin dia tahu rumahku dan bertemu orang tuaku. Aku malu karena
masalahku. Padahal, Vino juga tidak akan peduli tentang itu. Akhirnya, aku pun
diantarkan sampai dipersimpang jalan.
“rumah
lu mana ?” tanya Vino.
“itu,
masih lurus. Belok kanan, belok kiri. Lurus lagi ada gang kecil, belok kanan.
Baru deh rumah gue.”
“lah,
terus ngapa berhenti disini?”
“gapapa,
gue mau makan dulu.”
“bohong
lu, gak jago banget sih mau bohong. Haha.” Ledeknya.
“apa
sih lu, serah deh. Bye. Makasih udah buat gue masuk angin.” Akupun pergi
meninggalkannya.
“eeeh,
bentar. Ikut deh gue.”
“ngapain,
nanti bokap nyokap lu nyariin. Balik lu anak mami.”
“ah,
berisik lu. Udah ayo makan.” Ajaknya.
“makan
? ayook.” Akupun tak menolak ajakannya, karena perutku sudah berdendang sejak
pergi tadi.
Singkat hari, tanpa sadar kami
menghabiskan waktu bersama. Hari itu tidak ada amarah, karena biasanya kami
slalu bertengkar meskipun hanya masalah kecil. Tapi kali ini, setiap detik,
menit, jam kami berdamai. Seakan tahu, bahwa waktu akan segera mengakhirinya.
Tiada hari tanpa canda, tawa, cerita. Vino, masih saja tak tahu tentang perasaanku.
Mungkin, karena aku yang terlalu hebat menyimpan. Yap.
Vin, setiap tempat itu kenangan. Benar, kau membuat setiap tempat
dipersinggahan menjadi berarti. Gedung tua dan magic hour itu ternyata
perjalanan kita untuk terakhir kalinya. Padahal, banyak tempat yang tak kalah
keren dari tempat-tempat yang pernah kau ajak. Sekarang, aku tahu dari
kedinginanmu itu dan aku tak menyesal karena terlambat tahu akan hal itu.
Setidaknya, aku bisa berdamai dengan bekumu dan sedikit melupakan lukaku. Oh,
ya tempat-tempat itu akan menjadi sejarah perjalananku di masa remajaku ini.
Untuk tempat yang belum sempat kita singgahi, aku akan mendokumentasikannya
untukmu. Melalui tulisan dan beberapa foto.
Tempat itu kenangan dan kenangan itu
ternyata sakit, Vin. Karnamu, aku belajar damai. Berdamai dengan yang sudah
berlalu. Sakit memang, jika kenangan harus ditelan pahit-pahit.
24
Juni 2016, 00:33
Gunung
Putri, BOGOR.
@sagita_deskia
Komentar
Posting Komentar