Jarak dan Sebuah Rindu
“Sejatinya, kita perlu berjalan
lebih jauh dan lebih lama. Sampai tahu, apa itu arti rindu.”
Angin terus menderu merdu. Malam ini
menjadi malam yang syahdu. Kenapa tidak, iringan suara jangkrik yang tak biasanya
hadir menjadi alunan melodi yang tepat untuk melaraskan suasana. Semerbak aroma
tanah basah, setelah hujan tadi sore masih melekat diudara. Sampai dingin pun
masih menyelimuti kota ini. Tak ada suara bising kendaraan,tak ada suara bising
dari pabrik-pabrik yang bekerja. Hanya malam hari, kota ini mampu terjaga
dengan damainya. Bersama langit gelap yang bertabur bintang, kebayang tenangnya
hari jika terus seperti ini. Sayangnya, kota tak slalu sedamai ini, tak slalu
setenang ini. Hiruk pikuk lingkungan sosial, kendaraan dan pabrik-pabrik yang
slalu marak diperbincangkan membuat telinga harus siap dengan pengganjalnya.
Bukan pilihan yang tepat, jika harus
mengabaikan suasana malam ini. Alam sudah bersusah payah bersahabat dengan
keadaan, lantas dengan mudah disiakan? Tidak, untukku. Karena, sejatinya
alamlah yang mengerti perasaan setiap insan. Alam-lah yang membawa diri
berdamai dengan keadaan. Alam-lah yang menenangkan penatnya kehidupan. Buatku
begitulah caraku memaknainya. Ini alasan mengapa aku slalu jatuh cinta dengan
alam, slalu nyaman dengan alam. Tak heran jika mereka menilaiku sebagai manusia
alam. Haha.
Gemerlap cahaya bintang yang tetap
pada posisinya serta pantulan sinar rembulan yang lebih terang dari biasanya,
membuat diri enggan beranjak dari atas atap rumah. Sebatas menikmatinya,
sebatas menghargai kehadirannya, sebatas menenangkan fikiran, sebatas yaaa,
sebatas yang seharusnya tak ada batas. Mampu bernafas lega, setelah jantung
berdegup kencang tadi, sedikit merasa tenang. Yaa, malam ini hanya sebatas ini.
Sebatas merilekskan diri dari apa yang telah membuat tegang. Begitulah.
Seketika, aku teringat dengan
seseorang dimasa lalu. Seseorang yang juga menyukai hal yang sama denganku.
Seperti malam ini contohnya, duduk manis menikmati udara malam diatas atap.
Dulu, sebelum waktu mengharuskan kami berpisah, kami sering lari keatas atap
rumah, hanya untuk menikmati malam, menikmati riuhnya angin malam.
Kenangan-kenangan itu berhasil hadir, setelah susah payah aku menyimpannya
dalam-dalam. Nyatanya, aku tak sekuat itu menyimpan semuanya. Bukan hal yang
salah bukan, jika memanggil memori yang telah lalu ? aku rasa setiap orang
pasti pernah melakukan dan merasakan hal yang sama dengan keadaanku sekarang.
Berlagak menjadi orang yang paling
kuat, justru akan menghancurkan diri. Yaa, seperti sekarang ini. Menutupi
semuanya, seakan tak pernah terjadi apa-apa. Berharap tawa, namun justru
airmata. Bayang-bayang itu slalu menghampiri, kala aku sendiri. Drama bayang
yang menyakitkan. Masih terikat sebuah penyesalan diri, ketika mengingatnya.
Penyesalan yang seharusnya disudahi, justru merenggut harap untuk kembali.
Sadar benar, ternyata kehilangan sesakit ini. Maaf, karena aku terlambat sadar.
Terlambat sadar bahwa aku menyayangimu.
Awan. Seseorang yang pergi tanpa pamit
dan membuat memoriku kembali. Seseorang yang menyukai alam dan melodi.
Seseorang yang sudah ku anggap seperti kakak sendiri. Kami memang tak
berstatuskan kakak-beradik kandung. Kami beda ibu beda ayah, tapi kami sangat
akrab, seperti saudara. Kami justru mengabaikan sebuah status. Baginya itu tak
penting. Karna slama ini, status justru merusak keadaan yang sudah baik.
Awalnya aku sulit percaya, sulit menerima keadaan. Sekarang ini, perempuan mana
sih yang mau diberi tanpa kejelasan ? gak
ada. Jika pun ada bisa dihitung jari. Namun, nyatanya seiring berjalannya
waktu, aku masuk diantaranya. Perempuan yang menerima tanpa adanya kejelasan
status. Tak penting lagi, sampai akhirnya aku menganggapnya sebagai kakak.
Kala itu, ketika diri merasa tak
berarti, ketika konflik perceraian orang tua menghampiri. Awanlah satu-satunya
orang yang membuatku untuk tenang dan kuat. Ia datang disaat yang tepat, saat
diri merasa tak dibutuhkan lagi, tak berguna lagi. Ia hadir bak malaikat yang
memberikan kehidupan baru. Dengan segala cara mengisi kekosongan hati. Benar
saja, ia merubah mawar yang layu menjadi hidup kembali. Entah, harus kuartikan
apa kedekatan ini. Nyatanya, semua yang dilakukan lebih dari segalanya. Sejak
pertemanan dan kedekatan itu terjalin, aku mulai terbiasa dengan dirinya.
Bercerita, bercanda tawa, bermain, belajar apapun kulakukan bersamanya dan
slalu dengannya. Ia slalu menguatkanku, saat diri merapuh. Ia menggenggamku,
saat diri terjatuh. Ia menyemangati, kala diri benar-benar berada pada titik
terendah. Saat kehidupan tak berarti, saat
tak adalagi yang peduli, saat diri berbalut emosi, saat semuanya menghantam
diri, ia hadir dengan sejuta tawa. Merubah gelap, menjadi warna-warni pelangi.
Bisa dibilang, aku hidup karenanya. Aku bertahan, karenanya.
Kedekatanku dengannya masih terjalin
baik. Namun, suatu ketika, setelah gelar kelulusan Sekolah Menengah Atasku
selesai. Aku memilih pindah keluar kota, untuk meneruskan studyku. Aku tak
mungkin terus bergantung dengannya. Aku harus memulai semuanya sendiri. Aku
rasa ia sudah cukup berperan banyak untuk menghidupkan yang sempat mati. Maka
dari itu aku pun memilih pergi. Meninggalkan semua kepahitan dikota ini.
Beranjak dari mimpi-mimpi yang sempat mati, menghapus segala luka perih dalam
diri. Sejatinya, sejauh apapun pergi, jika hati ingin kembali, ia kembali pada
yang pasti.
Dua hari setelah gelar kelulusan,
aku pun pamit kepadanya. Kelak dipertemukan kembali, dihari yang sudah tak
gelap lagi.
“bang,
gue pamit. Besok gue ke malang nih, mau nyari jodoh.” Ledekku
“nyari
jodoh, jauh amat neng. Disini aje ngape. Haha”
“yah,
bang. Disini mah bosen lakinya pada ga serius semua.”
“duh,
yang korban disakitin.”
“bukan
aku sebenarnya, tapi aku berkaca pada lelaki yang sempat menjadi panutanku.
Ayah.” Ucapku dalam hati “(tersenyum)”
“bang,
lo bakal tetep jadi pendengar guekan?”
“iya,
fii.” Jawabnya sambil mengusap kepalaku.
Sebenarnya, ini yang membuatku
enggan melangkah pergi darinya. Akan sulit lagi aku beradaptasi, dan menemukan
teman sebaik dirinya, se-care dirinya.
Namun, sang waktu memberikanku kesempatan untuk menikmati kehidupan lain dengan
cara yang baru.
“gue
bakal kangen deh, nih.”
“sama.
Makanya, cepet balik lagi kesini yaa. Jangan lama-lama disana. Belajar yang
bener, inget janjinya apa. inget tujuannya apa. Awas sampai gue dpt kabar gak
bener. Makannya dijaga, kesehatannya dijaga.” Ucapnya.
“iyee,
bang. Lo juga. Baik-baik disini. Awas sampe gue dpt kabar aneh-aneh ttg lo.”
“santaai.
Besok siapa yang nganter kestasiun?”
“noh,
supir taxi yang setia. Haha.”
“ga
usah, biar gue aja yang nganter.”
“gak-gak.
Gue gak mau.”
“pokoknya,
besok gue yang nganter. Titik!” ringusnya.
Yaa, begitulah. Ia tak pernah
merelakanku pergi sendiri. selagi dia bisa mengantar, pasti dia yang harus
mengantar. Kebayang, kangennya nanti, harus terpaut jarak yang lumayan jauh.
Komunikasi yang mungkin akan terbatas. Tiba akhirnya, waktu mengharuskan kami
berpisah dengan jarak yang terpaut jauh dan dengan rentang waktu yang cukup
lama. Bersabarlah dengan waktu, karena pasti berujung temu. Itu saja, aku
yakini.
****
Sehari, seminggu, sebulan, setahun
berlalu komunikasi kami lancar meski tak setiap hari. Rindu pun sudah berada
dipuncaknya. Habis kata-kata untuk mengungkap rindu. Semua itu takkan berarti
tanpa ada temu. Benar saja, yang kubutuhkan adalah berjumpa dengannya. Namun,
dari jarak ini, aku belajar merindu, mengartikan sang rindu. Dan ini adalah
rindu sebenarnya. Rindu yang kupunya adalah rindu akan hadirnya.
Ketika, kita sama-sama beranjak
menjauhkan diri. Masing-masing rinduku tetap bertahan. Ia enggan pergi,
menanggalkan dirimu. Kau dan rindu adalah satu. Sampai suatu ketika, aku
mendengar kabarmu yang telah tiada, betapa sesalnya diriku yang pergi
meninggalkanmu tanpa tahu keadaanmu lebih dulu. Bodoh dan aku membenci diriku.
Belum sempat aku membalas perlakuanmu, kau sudah pergi dan tanpa pamit. Untuk
apa ada pertemuan jika ternyata harus diakhiri berpisah ? apa ini yang namanya
perpisahan ? kau membuatku utuh dan mengembalikanku menjadi kosong kembali. Tidaak,
rindu ini masih milikmu, ia menderu sampai menginginkan sebuah temu. Hadirlah,
dan balas rinduku. Kenapa kau pergi lebih dulu dengan rindumu ? ;’) biar saja rindu ini tinggal, karena kau pun
pergi tanpa pamit untuk meninggalkan.~
1:52
WIB. 27 Juni 2016.
Gunung Putri, BOGOR.
@sagita_deskia
Komentar
Posting Komentar