Jatuh kesekian kalinya
Aku tak
pernah meminta kau untuk terus bertahan, untuk slalu ada disamping. Kemana pun
sibukmu, aku mencoba untuk belajar memahami. Karena aku harus tahu, bahwa semua
persinggahan ataupun tidak pun sudah milik jalannya masing-masing. Aku tak
berhak atas apa yang kau respon dari tindakan juga ucapanku.
Perlahan dengan
waktu aku mempelajari bahasa manusia. Bahasa-bahasa yang memang unik dimiliki. Aku
mencoba menyeimbangkan akal dan rasa. Tapi, maaf jika kenyataannya rasakulah
yang lebih banyak mengambil peran. Aku tak memintamu untuk datang lalu pergi,
menyapa dan pamit. Aku hanya salah satu perempuan yang pernah ada dimatamu,
hadir dihidupmu. Kau menyaksikan bagaimana airmataku jatuh sederas air sungai
yang mengalir. Bagaimana egoku meredam semua amarah dikepala. Bagaimana aku
menepi saat semua mata menyerang tanpa tahu apa-apa.
Menyesal? Tidak.
Aku tak menyesal. Aku hanya menyayangkan saja. Mengapa sikapmu belum juga
berubah dan menyayangkan berapa banyak orang tulus yang hadir ke hidupmu, tapi
kau perlakukan sepihak. Ah, mungkin ini
dasar ekspektasiku saja.
Aku belajar
dari kejadian 3 tahun lalu. Dimana betapa besarnya rasa sayang, sukaku kepada
seseorang untuk pertama kalinya dan itu adalah kau. Bagaimana dulu, untuk
pertama kali aku diperlakukan manis layak tamu sang dewa. Berbagi cerita suka
duka bersama, menguatkan, menasihatkan. Kita bukan sepasang yang saling menebar
sayang. Kita hanya sepasang sepatu yang robek dan lusuh. Kita terus berusaha
menjahit robekan itu sendiri dengan jemari yang tersisa.
Aku tak
mengambil peran banyak untuk kesembuhanmu, begitupun kau. Dari pertemuan, pertama
kita tahu bagaimana proses menaruh utuh pada porsinya masing-masing.
Kau indah.
Dulu sebelum
aku mengenal sisi balikmu. Aku tahu, aku hanya menjalankan tugasku, sebagai
partner cerita. Mendengarkan, berusaha untuk slalu ada, menggenggam,
menguatkan. Karena sejatinya, posisi jatuh manusia, aku tak menginginkan orang
lain sendiri dan merasa sepi. Aku mencoba merangkul semampuku, sembari menjahit
sayapku yang patah kemarin. Aku tahu, aku bukan satu-satunya perempuan yang kau
kunjungi dan kau nanti keberadaannya. Aku tahu dimana batas hadirku. Aku tahu
itu salah, apalah, rasaku begitu menggelora tanpa tahu arah. Ingin marah, ingin
marah dan menangis sejadi-jadinya, saat kau bilang kita berakhir disini. Tapi,
aku tak berhak atas itu. Hubungan tanpa ikatan, tak perlu semengejutkan ini,
harusnya aku tetap baik-baik saja. Harusnya, jika aku tidak sepenuhnya itu
menaruh rasa pada hatimu.
Komentar
Posting Komentar