OKTOBER
-sebelum purnama-
Selamat tiba di bulan yang
dingin juga kering. Aku lihat ada warna-warni di ujung dinding kamarmu. Apakah
itu salah satu tanda, bahwa bulan ini akan ada sesuatu? Aku harap, semua yang
berlalu tetap menenangkan, mendamaikan, dan baik-baik saja. Tuan, aku cukup
terpikat pada satu warna yang entah itu dilukiskan apa, sepertinya kau pandai
mendeskripsikan emosimu melalui warna. Hebat, tak ku sangka kau setajam itu. Sampai
mana kita mengenal? Apa yang baru saja aku lewatkan? Ini, aku yang menutup atau
kamu yang terlalu pandai menyembunyikan? Maaf, aku terlalu cerewet untuk
membahas hati dan juga perasaanmu.
Melihat keramaian di waktu dini
hari semakin membuat pikiranku memutarartikan keadaan. Aku sadar, bahwa mungkin
rasa ini salah, aku menjebakmu dan kau pun menjebakku. Hubungan yang sudah terjalin
beberapa bulan ini, bukan milik siapa-siapa, tidak ada ikatan atau status yang
pasti. Aku, bahkan kau pun hanya menyelami perasaan masing-masing. Padahal sudah
jelas, ada hati yang mengkhawatirkan tubuhmu.
Aku beranjak, aku mencoba
membangunkan mimpiku dari keadaan yang bisa berubah buruk. Aku berlari,
menyelami tubuh ditengah air yang dingin. Tapi, semua itu semakin membuatku
sadar, bahwa perasaan yang sudah tumbuh ini semakin meluas dan menjadi-menjadi.
Aku harus apa? Sedangkan aku, masih memerangi tubuhku sendiri untuk mendapat
kenyataan yang pahit. Bagaimana dengan tubuhmu? Apa bisa kau terima? Tak apa,
jika menerima itu sulit, kita bisa seiring memuaskan permintaan semesta pada
perasaanmu yang tak bergeming.
Waktu didetik hari per hari kian
asik. Sekat tak kembali meluas, dan aku cukup mengutuhkan rasa yang semesta
titipkan. Perlahan, aku menghapus satu persatu pertanyaan yang seringkali
muncul dalam pikiran dan menggantikannya dengan warna yang kau lukiskan. Mungkin,
ini yang dinamakan buta. Biarlah, semua rasa punya tempatnya kembali.
Setiap warna yang kau lukiskan
di dinding kamarmu, aku tahu itu milik semua orang, tidak hanya aku. Bukan aku
satu-satunya perempuan yang kau lukis warnanya di dindingmu, bukan aku
satu-satunya perempuan yang menyukai karyamu. Aku tahu, aku paham. Sejatinya,
siapapun kamu, siapapun perempuan yang menjamumu, aku yakin, aku cukup berbeda dalam
menikmati dan menemanimu. Sudahlah, tak perlu menutupi warna apapun dariku,
meski aku tak tahu seutuhnya dirimu, dari caramu mengekpresikan emosimu di
warna itu, aku cukup tahu bagaimana dirimu dan itu yang membuatku semakin
bermain dalam menilaimu.
Wira, kalau saja setiap pesanmu
itu milikku, mungkin aku sudah teristimewakan. Aku sudah mengutuhkan purnamaku.
Aku sudah menutup pekatku dan meminta warnaku darimu. Kau tahu Wira, bagaimana
tubuhku mencoba merangkak dan bediri sendiri, bagaimana menghijaukan ilalang
yang ada pada sekitarku. Begitupun aku,
yang tahu bagaimana warnamu berubah dikhayalanmu.
“aku
mau berhenti, bisa?” tawarku
“kenapa?
Gak!” jawabnya ketus
“aku
mau berhenti, wir. Kenapa gak bisa?”
“Wira
butuh Gita.”
“sampai
kapan? Wira tahu aku juga perempuan?”
“tau,
tapi Wira butuh Gita.”
Perbincangan itu tidak menemukan
jawaban, hanya menemukan ketenangan bahwa tubuhmu hanya ingin sekedar didamaikan.
Iya kan? Kalau aku meminta semua warnamu, apa akan kamu berikan? Tidak kan? Karena
kamu pun tahu, yang meminta warnamu tidak hanya aku. Ada perempuan yang lebih
dulu bersandar dibahumu. Ada perempuan yang lebih dulu menerima warnamu. Aku tahu
Wira, kamu pun sulit berada di semua warna yang kau ciptakan. Kamu sulit menyeimbangkan
warna yang berperan dalam hidupmu. Semesta sudah mengakhiri permainannya, dan
semua bagaimana aku dan kamu memilih warna yang serupa tapi tak sama.
“Bulan
ini dingin sekali. Itu yang kamu artikan selama ini.” ucapku dalam hati.
Aku tak akan membencimu, meski
warna yang kau ciptakan tak sehangat dulu. Warnaku sesekali berubah, mungkin
kamu pun tahu dan menutupi itu. Kamu berhasil mengelabui bola mataku, membuatku
berhenti bertanya dan memusingkan kekhawatiran. Aku ingin purnamaku utuh,
begitupun dengan purnamamu.
Semesta telah memenuhi pikiranmu
dan kamu telah memenuhi dinding kamarmu. Selintas, warna akhir pekanmu terlihat
samar. Baru ini aku melihat warna itu. Ada apa? Apa bulu dikuasnya mulai
merontok? Atau tintanya yang mulai mengering? Ah tidak, terakhir kali aku lihat
semuanya masih utuh dan baik-baik saja. Aku bilang, kalau warnaku cukup
mengacaukan warnamu yang lain jangan taruh warnaku didindingmu, atau nanti akan
merusak warna yang kamu jaga. Biarlah, warnaku menemukan jalannya. Aku tak akan
memaksa warnamu menerima warnaku. Sejauh ini, kamu sudah berwarna sekali dalam
hidupku, hingga merubah pekat dan mengisi secara utuh sekatku. Warnamu tahu
tempatnya, tahu dimana ia harus pulang dan menetap. Warnamu sudah milik orang
lain, sudah menyatu dengan hebat. Sekarang, boleh aku menutup rapat radarku?
Komentar
Posting Komentar