Harus ku Ucapkan apa?
Musim
selalu berganti, terik panas, derai hujan, belum lagi riuhan angin yang menghempas
dedaunan kering dari dahan. Sudah banyak yang terlewat, hingga aku lupa bahwa
batu kerikil pinggir jalan sudah terhapus dan tertimbun oleh ribuan gram aspal.
Siapa yang peduli? Aku memalingkan langkah dari jalanan rusak itu sejak
perbaikan dimulai dari beberapa bulan lalu. Genangan-genangan berwarna cokelat
sudah mengumpat, batang pohon pisang, barisan papan triplek yang seketika hadir ditengah jalan pun absen
dari penglihatan. Bola mataku pun berlarian ke setiap sudut jalanan, mencari
genangan demi genangan yang mampir di tepi jalan. Nyatanya, sudah tak ada lagi,
dan sadar bahwa mataku tak lagi dimanjakan oleh pemandangan jalan yang unik
seperti itu lagi dan ini mengubah sudut pandangku untuk tidak memusatkan
penglihatan pada satu titik, genangan misalnya. Akan ada kerinduan yang tidak
dapat dijelaskan dari sebuah mata yang melihat terlalu lama, hingga kenyamanan
dari sebuah kebiasaan melekat dalam penglihatan. Akan ada si waktu yang datang
mengubah dan menggantikan setiap posisi dari kehadiran dan menyadarkan keadaan
bahwa semua yang datang adalah singgah.
Persinggahan.
Semesta adalah si pendahulu sebelum hati mengizinkan. Kehadiran datang,
mengenalkan sebuah pertemuan tanpa sengaja dengan sebuah perbedaan. Tidak ada
yang memungkiri bahwa suatu waktu hati dipaksa untuk siap tanpa diminta dan
diinginkan, karena kejadian atas ingin semesta akan sangat mengagungkan. Bahagia?
Iya, kecewa? Tak dipungkiri pasti ada. Perjumpaan
dengan aduan bola mata yang singgah, tak perlu diburu untuk terus tinggal,
karena setelah berjalan dan berlari, akan ada sebuah berhenti dan merangkak.
Sudah 260 minggu, kaki berpijak
dikota ini dan aku masih dikacaukan dengan keberadaan masa lalu yang
menghantui. Tidak selalu, memang tidak selalu dia hadir, tapi dengan itu,
membuat langkahku harus berdiskusi dengannya. Aku pun berusaha untuk bersiap
ketika diminta untuk diperkenalkan pada barisan kaki di hingarnya malam atau
bahkan pada pagi yang penuh kabut. Penjelasan dari pergantian hari ke hari
adalah pembelajaran akan sebuah suasana, yang akhirnya tubuh membiasakan dan
harus terbiasa. Asing? Jelas, ini adalah perbedaan dari singgah yang sementara
berubah nyaman. Apakah ini permintaan kerja otak pada tubuhku? Tidak. Ada sang
Maha dahsyat, yang merubah suasana hati kelabu menjadi kesadaran pada titik
menerima.
Semburat cahaya dari langit jingga
membawa tubuh untuk menghargai apa yang aku rasakan. Semesta tak selalu
berpihak, terkadang kita butuh improv di keadaan untuk tahu sampai mana tubuh
berkreasi dengan hebat. Maka, aku tahu bahwa dari masing-masing tubuh, memiliki
rasa kuat, hebat, unik yang berbeda. 260
minggu dijauhkan jarak, dengan orang-orang yang lebih dulu mengenal. Orang tua,
kakak, adik, sahabat, teman kecil. Nyatanya, kejauhan ini menyadarkan bahwa
jarak hanya menjauhkan tubuh bukan keadaan. Aku masih ikut terlibat dalam
problematika “rumah”. Aku masih diikut sertakan pada kecemasan-kecemasan yang
sebenarnya tidak hadir pada tubuhku, tapi tubuh orang lain dan aku masih
dilibatkan semesta untuk menjadi pendengar bagi siapapun, tanpa peduli
bagaimana tubuh ini.
Akhirnya, aku pernah mengutuk diriku
seperti kutu, mengumpat, berlari mencari tempat aman, tapi ternyata dibuang,
bahkan berkali-kali menghilang menjauhkan diri dari pembahaya diri. Sakit? Sudah
berkali-kali. Melihat gumpalan awan yang begitu percaya pada sang langit, dan
slalu berdamai dengan baik, membuat tubuh mengartikan dari setiap keadaan untuk
belajar “menerima”. Mempercayai sebuah tangan yang berharap menggenggam,
mempercayai sepasang kaki berharap seiring, dan mempercayai sebuah tubuh
berharap ada disamping. Pengharapan pun muncul untuk menguatkan berjalan, tapi
semua pengharapan mengembalikan kenyataan bahwa aku tetap perlu menerima. Menerima
bahwa tak setiap waktu tubuh itu ikut andil pada tubuhmu, menerima bahwa tangan
yang kau sanjung tak siap menggenggam kala jatuh, dan menerima bahwa kepercayaan
akan dikacaukan dengan keraguan.
Jauh sebelum 260 minggu disini, aku
sudah dikenalkan dengan sakit-sakit yang luar biasa aku belajar, yang secara
tidak langsung tubuhku pun menerima kekhawatiran berlebih. Aku pernah seakan
tak diharapkan, sepeti lahir tapi tak dilahirkan. Aku seorang perempuan yang
slalu ingin terlihat laki-laki diluar. Hatiku lemah, aku tahu itu, maka aku
berusaha menutupinya dengan hati-hati. Tapi, perkenalan dengan orang-orang
membuat hati yang aku jaga baik-baik ini menyeruak lagi, seakan memungut
kembali luka-luka yang tertimbun dahulu. Aku pernah dibedakan, dibandingkan,
dijauhkan tak punya teman, sendiri, diasingkan dari keluarga, diremehkan oleh
orang tua, aku pernah diposisi mengacaukan lebih dari itu.
260 minggu jarak menjauhkan tubuh,
aku rasa ini adalah kegagalan yang aku kira akan baik-baik saja. Ternyata tidak. Semesta memperkenalkan aku
pada tubuh lain, pada punggung yang berbeda, pada warna bola mata yang berbeda,
pada isi kepala yang berbeda. Keadaan tetap membawaku untuk tetap “menerima”. Aku
pun membiasakan seperti langit yang dibiasakan ditutupi awan hitam, kilat, dan
racun-racun yang mengapung diudara. Artinya, semua kembali pada sebuah kata “singgah”.
Ada sebuah percaya yang hadir dan
melepas sedikit kekhawatiran pada keraguan. Ada sebuah percaya yang siap
ditumpahkan dibagi dengan tubuh lain. Ada sebuah percaya yang siap melibatkan waktunya
dari sunyi hingga hingar, dari dini hingga malam hari dan ada sebuah percaya
yang siap dipercayakan.
Sejauh ini, aku slalu dikoyak-koyak
oleh kepercayaan. Apakah tubuh lain akan ikut memainkan ini? jawabannya adalah
IYA. Semua tubuh yang aku percaya di 260 minggu disini, mempermainkan si
kepercayaan. Mungkin, aku juga pernah mengecewakan, mengacaukan kepercayaan,
pada tubuh-tubuh yang terlibat denganku. Tapi, pernah kita membicarakan ini,
bersandar saling menatap untuk menyelesaikan, seperti pertemuan pertama kali
kenal? Tidak. Aku tahu sebuah singgah ini adalah pilihan. Aku tak pernah
mempermasalah singgah dan persinggahan. Tidak.
Aku, tubuh dan hatiku sudah
mengizinkan tubuh lain untuk datang bercengkrama dengan tubuhku, untuk terlibat
dengan tubuhku, untuk melibatkanku dengan tubuh lain. menyiapkan bola mataku
sigap berlari kearah tubuh lain, menyiapkan jemari untuk sigap menggenggam
ketika kacau, menyiapkan kaki untuk kuat berlari, menemani tubuh lain. Tapi,
semua itu, di akhiri tanpa pamit. Datang meminta izin dan pergi tanpa salam. Persinggahan
ini mengacaukan berkali-kali, tubuh yang sudah mengerti ternyata tidak
mengerti. Bermaksud menjaga hati, tapi? Justru membuang berkali-kali.
Permainan ini, selamat atas
keberhasilan tubuhmu, aku tahu tubuhmu tidak ada maksud mengacaukan. Setidaknya,
aku tahu sebuah genangan akan tetap menjadi genangan, yang diperbaiki dan
hancur kembali. Pergilah tanpa membawa pesan damai, ingat tubuhmu juga perlu
dihargai. Aku tak akan menuntut untuk
datang lagi dan ku biarkan. Kalau, setelah ini ada pesan kabar, aku rasa hatiku
tidak baik-baik saja. Ternyata, sendiri tidak sekacau saat ditinggal pergi.
Komentar
Posting Komentar