JULI
Daun gugur, suhu menusuk,
mentari menyengat, terkadang langit menangis,
terkadang, tanah-tanah pun berbisik. Kemudian angin berhembus,
menyuarakan sisa-sisa pembicaraan dibulan sebelumnya. Aku kira bulan ini
dimulai sejak berjalan sehari tanpa diminta peraduan yang membeku.
Jika, hari itu aku adalah
pertanyaan yang diabaikan, hari ini aku harus menjadi apa lagi? bahkan, untuk
mengartikan setiap jawab dari pernyataan yang biasa saja, masih juga diklisekan
dengan percuma.
Jika sebelumnya, aku adalah
langit yang menerima apapun yang terjadi dengan semesta, maka saat ini, aku
harus mengubah seperti apa? Bahkan, untuk setiap detiknya saja, semesta
membicarakan dengan penuh bahagia.
Jika, sebelumnya, aku adalah
sebuah gambar, yang mengenang segala yg terjadi dengan manis, lantas setelahnya
aku harus berbuat apa? Bahkan, untuk mendedikasikan diantara ratusan gambar
yang terekam, tetap terabadikan yang terabaikan. Sekelibat ada, lalu hilang
entah kemana. Tercipta gambar yang terbakar.
Jika, setelah ini aku adalah
detik diantara waktu yang mengalir dari keringatmu. Boleh aku untuk tetap
tinggal menjadi lawan bicaramu setiap waktu yang slalu saja itu kosong ?
Dermaga yang tercipta sebelum
ini, aku tahu itu adalah kuat, tapi apa yang sudah disematkan dermagaku pun
perlu tahu. Bukankah, tidak ada datang yang meminta izin dengan baik, ketika
tahu dari kejauhan sudah ada cahaya isyarat untuk datang? Bahkan, tidak hanya
dengan dermagaku, denganmu pun demikian oleh siapa yang datang, bukan begitu?
Aku tidak meminta untuk tetap
mengunjungi, dermagaku tidak butuh itu. Tengoklah dengan dekat, jangan dari
kejauhan diperbatasan. Karang-karang yang disisipkan dermaga itu, hanya
memberikan peringatan pada yang datang, untuk tidak merusak apa yang sudah
dirakit jauh sebelum mengartikan sebuah kata “datang”.
Sejauh ini, aku mengikuti
permainan semesta yang dilatarkan atas nama dermaga. Aku tahu ini bukanlah
peraduan yang tepat karena sejak bulan lalu, angin berhembus dengann kencang,
itu jauh setelah kau datang, tuan.
Semesta mengajaku berkenalan,
memaksaku berkicau tanpa henti, hingga setiap detik yang mengalir dibulan ini
adalah kehangatan. Aku tidak pernah tahu, setelah ini bagaimana waktu
mendedikasikan apa yang sudah terjadi setiap malam dini hari yang kukenal. Barisan
kaki sitengah malam yang sepi, bagaimana menyematkan diantara kebekuan yang
mendalam saat rindu tak diutarakan. Aku tidak tahu.
Suatu waktu, bulan ini terus
menjadi yang paling dikenang tapi entah nantinya ia menjadi pengalaman trauma
ataukah sebaliknya. Aku harap, waktu dengan semesta dan kau bersahabat, hingga
kalau saja diakhiri sampai detik yang membahagiakan, cukup aku bisa berdamai
dengan semua langkah, tepi jalan, dan apapun itu.
Lalu, setelah nanti mungkin
saja berakhir, aku boleh saja mengubah kopiku menjadi yang mengagungkan. Pilihan
yang berbeda tapi rasa yang sama, bisa? Ah, tentu sulit. Aku rasa baristaku
tidak ingin menyeguhkan itu.
Malam dini hari yang panjang,
aku minta semesta mendamaikan semua hati mulai perbincangan basi hingga
perbincangan klasik yang berarti.
Komentar
Posting Komentar