Diantara Waktu Persimpangan Dini Hari
Diantara
waktu persimpangan dini hari
“ada kaki yang menikmati setiap kicauan
ditengah jelaga, antara mata dan bising kendaraan ditepi jalanan.”
Suara gendang serta gamelan
alat musik tradisional terdengar sayu-sayu ditelinga. Kesalahan tubuh adalah
jika mengabaikan suara semenyenangkan itu. Tidak ada gerakan mengaku, tidak ada
suara yang dihindarkan dan tidak ada mata yang mengalihkan. Anggota tubuh
merespon bak, penari latar mengiringi setiap alunan yang terdengar samar-samar.
Ah, hebat sekali pemain musik memainkan alat itu. Suaranya berhasil mengalihkan
kejenuhan yang monoton dengan musik kekinian. Tanpa sadar tubuh terus
berlenggok mengikuti bunyi tabuhan suara gendang. Asik sekali, hingga lupa bahwa kaki yang
berjalan itu juga ingin ditemani dengan kaki lain.
Tabuhan suara gendang semakin
terdengar samar dari kejauhan. Seketika, kilatan guntur mengagetkan suasana
dari tubuh yang sedang asik menari. Ah yaa, ini hanya mainan imainasi saja. Disadarkan
saat langit sudah tidak membiru, terlukis semburat jingga kembali berperan
indah. Tubuh yang sedang melepas ekpresinya pun terjatuh kesofa, karena sudah
dikacaukan oleh suara guntur yang mengagetkan. Sudahlah, bermain dengan
imainasi memang kerap kali dilupakan dengan kenyamanan. Bahwa nyatanya alat
musik itu hanya hidup dalam tumpukan kertas yang berantakan disofa. Iya, aku
baru saja menyelesaikan tulisan fiksi yang sudah berlarian kesana-kemari.
Sore kali ini, sisi jendela
sedang mengering, hingga terlihat jelas langit jingga yang sedang memainkan
perannya. Serpihan cahaya mataharipun sedikit menerangi setiap sudut ruang
kosong dari sisi jendela. Suasana sore ini hanya menemani jiwa yang ingin
berekspresi, ketika aktivitas menyita habis waktu beberapa pekan terakhir
karena tugas yang menumpuk. Benda-benda mati dalam ruangan sudah menjadi teman
sehari-hari ketika jenuh ataupun penat dan sesaknya kota mulai menjarah ke
tubuh. Ah, lagi dan lagi rasanya ingin menghilang saja. Muak, kaki selalu saja
disiapkan untuk terus kuat, meski ada badai topan yang menghampri. Belum lagi,
tubuh yang ringkih, selalu saja harus disayang-sayang, karena seringkali
bersahabat dengan rumah sakit dan segala jenis obat. Iya, aku memang serapuh
itu untuk bisa hidup.
Beranjak dari hari-hari yang
ditemani benda mati, berakhir dengan sebuah aduan bola mata yang selalu meminta
bertemu. Ratusan kertas yang menumpuk, harus siap ditulis berbagai huruf dari
tinta yang mengejar terus meminta dipecahkan. Sebuah perkenalan diatas tinta
hitam, membawa kesan untuk selalu bersandar pada pertemuan yang jenaka. Perkenalan
kali ini tidak disandarkan pada sebuah ketidaksengajaan. Tapi, kali ini
dikisahkan melalui kertas yang berputar seiring detik jam yang berganti. Kertas
dan segala aktivitas sedang berpusat pada perkenalan dan pertemuan jenaka ini.
Pertemuan yang memang ditugaskan untuk terbentuk dari berbagai macam warna. Aku
tidak memilih beberapa warna, begitupun mereka yang berusaha untuk mengenali
masing-masing warna. Kertas itu terhenti pada tempat untuk dikisahkan bersama. Berawalkan
warna hitam yang berpadu putih, mengabu. Tidak perlu dijelaskan, karena hati tidak
menuntut untuk dimengerti. Dari tatap, dan kertas yang terhenti dimulainya
perbincangan basi untuk membahas aktivitas beberapa pekan kedepan. Ini bukan
tentang warna yang harus indah, atau tentang kertas yang harus dijaga agar
tidak rusak. Melainkan tentang kertas yang bisa bersinergi bersama segala jenis
warna nantinya. Ada saja kemungkinan untuk bertukar warna, ataupun menetapkan
diri pada satu warna. Semua terkisahkan dalam setiap ratusan kertas diantara
batasan ruang, dan batasan waktu.
Pada hari yang ditertawakan
semesta, aku memberi batas pada jarak ruang dan waktu, untuk bisa memahami
sendiri perasaan yang seringkali larut dengan cepat. Sigapnya, aku dengan kokoh
membuat benteng agar tidak terkena tinta lain, yang merusak. Perkenalan slalu
membawa perbincangan yang harus bisa terpecahkan sendiri maksud dan tujuannya,
karena itu batasan yang aku buat harus kuat. Perbincangan yang aku ketahui hanya untuk didengar. Sebelum
terlambat, aku memulangkan tubuhku pada kesadaran yang aku buat sendiri, yaitu
memahami gerak tubuh lawan bicara agar tidak terjatuh begitu cepat. Maaf saja,
trauma bertahun-tahun itu slalu menghantui setiap kali ada perbincangan dalam
aduan bola mata.
Pertemuan dan segala
perbincangan yang terusit, mengalihkan jenaka dalam beberapa bola mata dan
warnanya. Aku semakin jelas melihat, puluhan bola mata yang meminta untuk
ditemani dan terus menagih temu. Jika, perbincangan sejenaka ini, apakah akan
ada kelanjutan jenaka lainnya untuk sekedar tawa yang betabur warna? Tidak ada
yang tahu, semua dikisahkan dari warna hitam dan putihnya kertas, maka itu
mengabu. Yaa, mereka berkamuflase.
Hari diantara pagi hingga
malam. Aku dikenalkan pada sebuah waktu dipersimpang jalan. Ada yang menarik
setiap kali kaki berdiri sendiri. Ada yang menarik ketika jemari-jemari
bergemetar dingin, dan ada yang menarik setiap kali bola mataku jatuh melirik
benda lain. Apa? Dia adalah sepasang bola mata cokelat yang aku lihat terakhir
kali ia menjerit meminta didengar. Mataku slalu saja melarikan diri setiap kali
tanpa sengaja bola mata itu jatuh dihadapan retinaku. Menariknya, mataku slalu
enggan berlari ataupun berputar mencari tatap lainnya, meski berusaha untuk
mengalihkan. Butuh beberapa waktu untuk mengartikan tatapan cokelat itu,
singkatnya tatap itu hanya meminta ditemani untuk berbincang tentang kisah
hidup warnanya yang gelap. Lagi, lagi peran warnaku harus berganti, setiap kali
diminta oleh keadaan. Baiklah, aku menerima tawaran semesta agar tidak
menertawakan pasangan bola mata yang sama-sama jatuh.
Kesekian kali, diantara
gelapnya malam, dan taburan cahaya bintang. Perbincangan dikenalkan pada
sepasang cangkir, dari pekatnya kopi. Baginya, tidak ada teman yang menenangkan
ketika perbincangan mulai diakhiri. Semakin larut, suasanapun semakin mengaku,
bola mataku sudah cemas, khawatir, jemarikupun sudah bergemetar. Ini antara
dinginnya udara malam dan khawatir benteng yang dibuat retak perlahan. Nyatanya,
benar saja, setiap kali memulangkan bola mata yang beradu pada pemiliknya,
benteng pertahananku runtuh. Detik itu juga, langit menjadi gelap
segelap-gelapnya. Entah, pada perbincangan keberapa mataku mulai
mengkhawatirkan kepergian. Senyaman itu meneduhkan sepasang bola mata yang
cokelat. Padahal, dirasa sendiri pun tidak asik, seperti berjalan ditengah
jelaga diantara kicauan yang menyakitkan.
Aku yang tidak tahu bisingnya
kendaraan tengah malam, kini menjadi hafal bising apa saja yang bergetar setiap
malamnya, selain suara jangkrik. Entah, semakin hari tubuhku mulai bersahabat
disetiap malam hingga dini hari. Aku tidak hanya dikenalkan pada cangkir dan
pekatnya kopi, melainkan aku dikenalkan bagaimana jemari dengan cepat merespon
sebuah gemetar. Antara sekat dijemari, dipulangkan dengan penuh karena teriisi
jemari lain yang dengan sigap menarik kencang jemariku. Iya, itu adalah
jemarimu. Hingga bekunya dini hari, tidak lagi dirasa menggelitik. Tidak hanya
itu, akupun dikenalkan pada sebuah perbincangan yang berlandaskan sebuah
ketakutan dan kembali memulangkan keteduhan pada kepala yang bersandar
dipundak. Saat itu juga, aku mulai nyaman diantara waktu dini hari yang
membeku. Aku tahu, kemana anggota tubuhku harus pulang dan memulangkan.
Dini hari, membawa kopi yang
pekat menjadi hangat untuk diperbincangkan. Segala perumpamaan dalam hiduppun
dikisahkan hingga perihnya bendungan dalam mata dan dada tertumpahkan. Aku paham,
aku sesak, aku ingin menangis sejadi-jadinya. Baru aku tahu, bahwa bola matamu
terlalu indah untuk sekedar singgah. Maka, benteng yang kutata dengan kokoh pun
sudah memiliki retakan disetiap sudutnya, tinggal bersiap hancur merata dengan
tanah.
Ada yang menyudutkan
kekhawatiran ketika kata “nyaman” baru saja diutarakan dengan seksama diantara
malam dini hari. Siapa sangka, hati yang tidak menuntut untuk dimengerti pun
kini, merasa sakit jika tidak dipahami, bahwa ada bola mata yang saling jatuh
cinta. Pada bagian dini hari yang mana, bola mataku bersimpuh lemas dengan sayu
ketika menatap bola mata cokelatmu, akupun tidak tahu. Sendikat yang berpikat
sudah mencuri segala pertahanan yang sudah dikokohkan sejak awal dari sebuah
warna berwarna hitam, hingga benteng dari kamuflase juga ikut berpindah haluan
membanting setir karena hilang arah. Kini, tumpukan kertas yang mengabu, tidak
lagi mengabu melainkan sudah tercampurkan semua warna “mejikuhibiniu” dan
membentuk sebuah kata “abstrak”. Abstrak karena perkenalan dari pertemuan yang
jenaka, sudah meratakan bangunan bentengku disinggahsana peraduan lain, dan itu
karena sepasang bola mata cokelat yang hanya sekejap memutar alihkan fikiran
serta perasaan.
Kertasku sudah berhenti
disatu titik dan berpusat pada kisah warnamu. Aku mulai menembus batasan dari
ruang dan waktu setiap hari hingga malam dini hari. Betapa keras dan kilatnya
kekacauan pada sebuah perbincangan kala itu. Disebuah persimpangan jalan, ada
sepasang kaki yang saling menguatkan tentang cara berdiri dan bertahan,
layaknya kuda yang berpacu dengan cepat namun tetap kuat. Ada sepasang tubuh
yang menemani saling meneduhkan ketika malam dini hari kembali merasa perih
karena sepi. Hingarnya disebuah kota pun mengalahkan, suara-suara yang menjerit
dalam hati bahwa ada yang ingin terus bersama dan tidak ingin ditinggalkan. Itu
adalah bola matamu yang meminta untuk terus ku tatap, meski berbatas jarak. Aku
kira, hanya kamu, tapi ternyata ketika hati sudah dipersiapkan, bola mataku
tetap menginginkan sebuah tatap yang meneduhkan linangan dari bendungan mata
dan perihnya luka dalam dada. Nyatanya, hati serta tubuhku belum sesiap itu
untuk menerima kepergian dari malam dini hari.
Lampu remang-remang disudut
kota, menjadi saksi bisu pada perbincangan yang sudah saling menemukan kenyamanan.
Namun, harus tetap disadarkan, bahwa lampu remang itu akan mati pada waktunya. Entah
pagi, entah siang, atau bahkan bisa saja mati saat malam dini hari. Memulangkan
sandaran ternyata secepat itu, dini hari yang kacau. Ketika kaki, sudah terbiasa
ditemani, lalu jemari yang sudah biasa terisi kini kembali merasakan sebuah
kekosongan lagi. Maka itu, pengemudi hilang arah. Entah kemana lagi, mencari
pasangan untuk tetap bertahan. kertas beserta isinya pun dipulangkan dengan
tenang dalam sebuah kotak, yang berharap otak itu tidak terus membusuk hingga
menjadi serpihan dan bercampur dengan tanah.
Pertemuan minimalis,
dirangkai manis pada waktu dini hari dari jeritan yang meminta untuk diteduhkan
dan dipulangkan. Dini hari bersama kopi kembali genting karena kekacauan
perbincangan baru saja dimulai dan diratakan pada alam semesta yang tak berpihak.
Tempat aduan bola mataku sudah melelahkan dengan sendirinya, agar tidak ada
lagi singgah yang berpindah. Bola mataku seringkali meleset, ketika melihat
bola mata lain yang serupa dengan pemiliknya. Sadarkan saja, bahwa tempat yang
dipulangkan tidak hanya milikku, tetapi milik orang lain. Jadi, siapa saja
berhak masuk memulangkan bola mata yang lelah pada bola matamu yang indah. Kini,
segala tubuhku berpamit pada sepasang bola mata yang ditinggal tanpa sepatah
kata diwaktu dini hari. Lampu disudut jalanpun sudah mati, bersama iringan langkah
kakimu yang perlahan menjarak. Tenanglah, dan pulanglah dengan damai pada
pangkuan jemari lain yang bisa dengan sigap menggenggam tanganmu tanpa malu,
dan memelukmu tanpa harus diminta. Sekian dari dini hariku, yang jauh dari kata
“Sempurna” dini harimu. Salam jumpa pada pertemuan jenaka dan perbincangan dini
hari yang menyisakan ampas kopi.
Komentar
Posting Komentar