Wanita Pengagum Senja dan Pria Coklat
“ku tahu senja pasti kembali”
Salam
jumpa di pertemuan. Membawa pada titik perkenalan dan berujung ikatan sebuah
pertemanan. Klasik. Semua berjalan begitu cepat. Layaknya makanan saji. Fisik
mulai beradu, dari sepasang bola mata. Pandanganku jatuh tepat di retinanya,
berbinar. Begitu indah bola matanya, bulat, coklat dan seperti terlihat orang
baik. Seketika hatiku pun ikut berlabuh. Ah, dasar tak bisa melihat sedikit
arti. Aku membacanya.
Tak
seperti perkenalan sebelumnya, yang saling berjabat tangan. Aku membiarkannya,
terus menatap dan berbicara. Aku terpaku melihatnya. Seperti kagum, tapi
entahlah. Aku belum terlalu yakin dengan apa yang kulihat. Mata itu terlihat
jujur, tak seperti yang ku lihat pada pria yang pernah ku kenal sebelumnya.
Mataku mulai beradu, menatap lebih tajam dari tatapannya. Semakin yakin dan
jelas aku membacanya. Pria berkaca mata ini, membuatku semakin bertanya-tanya, seperti
ada sesuatu yang tersembunyi dalam dirinya, sesuatu yang mengganjal dan sudah
lama tak ia keluarkan. Entah amarah, entah rasa rindu, entah rasa kehilangan
yang tak pernah ia ungkapkan. Tergambar jelas dari kedua matanya. Aku mulai
penasaran tapi tidak dengan menanyakan langsung padanya. Aku tetap pada
posisiku dan melihatnya bertingkah, berkontak langsung dengan isyarat.
Mentari
sudah diujung puncaknya, menandakan ia akan beristirahat. Semburat jingga
matahari yang merambat turun beradu dengan serat-serat awan putih dan menjadi
pemandangan yang luar biasa. Langit bertumpah ruah akan pesona keindahannya.
Senja pun terjadi. Aaah, aku jatuh cinta. Tak pernah lepas aku merekam
keindahan satu ini, aku slalu memotretnya. Bentuk kekaguman yang tak bisa
pudar. Senja, kau berhasil menyihir perasaan yang mengaku. Tanpa ku nanti kau
slalu hadir, kini aku bersama seorang pria yang baru ku kenal. Menatapmu di
satu tempat.
Di taman
balai kota, ia memberikan yang aku butuhkan. Sesuatu yang bulat berlapiskan
alumunium keemasan, seperti koin. Coklat. Si manis yang tanpa henti aku raih
untuk mengembalikan moodku yang rusak. Ia tahu, karna kita saling butuh. Entah,
baru pertama ini aku berjumpa dan dari sini aku mulai mengenali rupa wajahnya.
“makasih
coklatnya” ucapku.
“yap, sama-sama”
jawabnya singkat.
Angin terus berhembus, dingin semakin
mencekik, ditambah sikapnya yang mengalahkan keadaan. Mati rasa, dingin
membuatku linglung. Oh tidaaak, kau tampan wahai pria coklat, tapi mengapa
sikap dinginmu begitu erat menyelimuti ?
“tugasmu, sudahkah
?” aku memulai satu pembicaraan kembali.
“uda sebenernya, tapi
karna ada pergantian kelompok, jadi males ngerjain. Males dateng juga besok.
Mau izin aja.” Jawabnya cepat seraya merapihkan rambutnya yang pirang.
“kok gitu? Sayang
loh nanti ngulang lagi.” Balasku yang berharap ia datang.
“udahlah, santai
aja.”
Lihat, ia
menggampangkannya. Ah, mengapa perasaanku berdebar, mengapa aku cepat berharap,
mengapa pula aku cepat melabuhkan hatiku ditempatnya. Mungkinkah aku menyukainya
? mungkinkah aku mulai menaruh perasaan padanya ? oh tidak. Aku baru
mengenalinya, kenapa secepat ini aku jatuh cinta. Mata itu, mata itu yang slalu
membuatku yakin.
Senja perlahan memudar, menandakan akan
berakhirnya hari. Singkat, aku dan pria itu mengakhirinya. “makasih buat
waktunya.”
“iya, sama-sama.
Hati-hati”. Ia melemparkan senyum dan tetap dalam posisi duduknya.
Aku beranjak dari tempatku, entahlah,
perasaanku tak menentu saat itu juga. Tak ingin berakhir tapi hari mengharuskan
untuk berakhir. Secepat inikah waktu berlalu, bagaimana aku mendedikasikan
setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun untuk menyambut sebuah
pertemuan kembali ?
Aku tahu ini terlalu cepat. Maaf, hai
pria coklat, aku sudah melabuhkan hatiku padamu sejak senja hadir dan sejak
mata kita mulai saling beradu. Aku menunggumu tepat dikehadiran sang senja.
Menatap hal yang sama. Mungkinkah ada cerita baru atau tetap kau mengakhiri
pertemuan ini dengan sebuah coklat.
Ku tunggu kau dipenghujung senja, karna ku tahu
senja pasti kembali.
Komentar
Posting Komentar