cerpen "PUDAR"
Pudar
Asshofiatus Sholehah
Senja
mulai nampak, mentari pun terbenam, langit berganti jingga, kicauan burung
mulai terdengar merdu dengan alunan nada nada sendu melengkapi sore itu. Terduduk manis di
sofa nan empuk yang memanjakannya untuk tetap bersantai menikmati sore yang indah.
Menatap senja dengan penuh senyuman
manisnya. Vivi kembali membuka album lamanya, yang sudah terbalut akan
debu-debu yang melapisi. Tersimpan rapih
di atas lemari hijaunya. Tak pernah ia buka album usang itu sebelumnya, tepat
sore ini ia ingin kembali mengingat dan membuka
indahnya dalam album itu, masa dimana ia masih dimanja dengan usapan
tangan lembut seorang ibu, rayuan manja sang ayah dan kasih sayang yang tersimpan
dahulu, masa dimana ia masih lugu dan lucunya,
bandal menggemaskan yang membuat orang-orang ingin memilikinya dan yang pasti
belum mengerti arti dewasa yang berbalut
masalah setiap harinya J.
Alunan nada sendu itu membuatnya
membuka album perlahan, menikmati
akan kenangan dari sebuah foto serta musik itu sendiri. Bibirnya tertarik,
matanya tak berkedip, “tuhan
inikah aku?” ucapnya dalam hati. Selembar kertas
terlihat dua buah foto menawan “itukah aku dulu ?”
ucapnya tersedu. Seketika hatinya berdegup melemah, merasakan ia kembali ke
masa itu. Berkedip matanya mengiringi sayupan degupan jantungnya, mengusap
halus kedua foto itu, “tuhan,
manis sekali senyuman kecil itu, tak nampak lelahnya menahan sakit, ceria
sekali, lihat tuhan kuat sekali dia, sampai sekarang ia mampu menahan sakit
yang luar biasa mencabik dirinya” mengusap foto
dirinya. Tak sadar perlahan rintikan hujan pun datang membasahi dedauanan, langit berubah mendung serta udara
semakin dingin hingga mampu menembus tulang, namun vivi tetap menikmati album
itu dengan suasana mengharu,
jatuh airmatanya tak mampu lagi ditahan, meluap padat banjiri setiap sudut foto
itu.
“tuhan aku rindu masa itu,
aku ingin kembali, kembali saat aku mampu tertawa lepas, tak merasakan sakit
yang luar biasa membunuhku.”
Tetesan
airmata kini tak berarti lagi, mengalir sudah dengan derasnya seperti hujan
yang turun dengan derasnya sore itu.
******************************
Sejak
kecil vivi sudah di vonis dokter mempunyai kelainan pada jantungnya. Dan kini
ia tak bisa untuk merasakan senang yang teramat senang, kemudian untuk sedihpun
ia tak bisa terlalu bersedih, karena akan membahayakan kondisi fisiknya yang
akan mempengaruhi jantungnya.
***
Membuka
lembaran baru dimana terdapat foto dirinya dengan seorang perempuan cantik yang
tak kalah cantiknya dengan Vivi.
Reva itulah gadis yang
bersamanya dalam foto tersebut. Dia adalah seorang kakak perempuan yang amat
menyayanginya hingga sekarang.
“ka Reva, aku sayang banget
sama kaka. Kapan aku merasakan genggaman tulus tanganmu kembali? Aku rindu kak”.
Kembali berucap dengan air mata di pipinya.
Reva
memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya di sebrang pulau.”jogja”, salah satu tempat yang kini ia pilih untuk meraih
impiannya. Tiga
tahun sudah vivi di tinggal merantau kakanya. Rindu mendalam membatinkan.
Kembali pada album yang kini penuhi air matanya, berlinangan tak terbendungkan.
Sulit rasanya untuknya
menahan air mata agar tak jatuh merusak indahnya sore itu. Hujan turun dengan
lebatnya seiring dengan air mata yang jatuh di kedua pipi chabinya.
“Bantu aku hentikan air mata ini ya rabb, aku tak ingin
merusak indahnya sore ini, tak ingin merusak indahnya ciptaanMu ya rabb. Bantu aku”.
Seketika air mata itu perlahan berkurang , namun tiba – tiba ia merasakan sesak
yang luar biasa mendalam. Dada kirinya kembali sakit, “tuhan, aku mohon, aku mohon ”
ucapnya perlahan. Sontak ia pun menutup album itu, memegang dadanya dengan erat “sakit”
nafasnya semakin tak teratur, tubuhnya melemah dan ia pun membaringkan di sofa. “astaghfirullah”
ucapnya menyebut asma Allah, tubuhnya tak mampu untuk berdiri sejenak mengambil
obatnya di kamar, ia pun hanya tetap berbaring di sofa luar sambil memegang
album itu dengan erat. Tepat tiga jam yang
lalu orang tuanya sedang tak
dirumah dan hanya dia sendiri, sehingga ke dua orang tuanya tak mengetahui
penyakitnya yang kembali kambuh. Pejamkan mata sejenak sambil mengucap
istighfar dengan penuh kenyakinan, tak lama sakitnya perlahan menghilang. Ia
tenangkan pikirannya, tenangkan hati dan terutama pada jantungnya. “Aku kuat, aku kuat ya rabb”.
Salurkan motivasi positif untuk dirinya. Sesaat rasa sakit sesak di dada itu
hilang, ia nikmati secangkir teh hangat yang di buatnya setelah mampu berdiri
kembali. “Subhanallah,
karunia-Mu ya rabb, tak tertandingi walau hanya melalui secangkir teh sore ini
dengan hujan-Mu. Aku merasa nyaman dan tenang”. Foto-foto di album itu banyak mengukir kenangan yang
dirindunya, gadis mungil cantik yang slalu tersenyum, pelukkan hangat kedua
orang tuanya, genggaman halus seorang kaka ketika sakit menyapa dirasakannya
disitu, tapi untuk saat ini dia tak merasakan itu semua. Orang tua vivi sibuk
sekali, sibuk dengan pekerjaannya sampai-sampai tak ada waktu luang untuk
bersamanya. Kesepian, itulah yang dia rasa. Tak ada lagi suara ceria terdengar
dari ruang keluarga, tak ada lagi yang menghapus airmatanya dikala sakitnya
hadir, tak ada lagi yang memberi kecupan hangat saat terlelap tidur.
“ayah,
ibu, kaka aku rindu kasih sayang yang dulu” ucapnya memandangi sebuah foto keluarganya.
Tanpa
sadar adzan maghrib pun berkumandang, ia tutup album itu dan bergegas untuk
mengambil air wudhu, melaksanakan shalat. Menenangkan hati kepada Sang Pencipta
memang yang paling tepat, karena hanya Allah yang mampu membantu kita dikala
sedih, hanya Allah yang mampu menghapus airmatanya dan menenangkan segala
fikirannya serta hatinya. Berdo’a dengan khusyuk berharap Allah mengabulkan
do’anya.
“ya Allah, aku bersujud
dihadapan-Mu, memohon ampunan-Mu, sudah banyak dosa yang kuperbuat, aku memohon
pada-Mu ya rabbi, kembalikan keluarga kecil itu dalam pelukku. Hangatkan
kembali suasana yang dulu. Aku rindu sekali,rindu”
“tess,tess,teesss” airmatanya perlahan jatuh.
Setelah shalat, tiba-tiba handphonenya berdering.
Ternyata ada panggilan dan itu adalah kakanya “Reva”. Sudah sebulan ini dia
belum menelfon Vivi karena kesibukannya sebagai seorang mahasiswa.
“hallo, assalamualaikum” angkat telefon itu sambil mengusap
airmatnya.
“waalaikumsalam, hallo chabi, lagi apa kamu ?” sahut
Reva.
“baru selesai shalat kak, kaka sudah shalat?”
“subhanallah, makin rajin yah kamu. Bagus. Gak nyesel
deh aku punya adik kayak kamu yang slalu ingat Allah. Aku sedang halangan
cantik. Lagi kenapa kamu ? sedih ya ?” ledeknya.
“Alhamdulillah kak, karena Allah yang slalu buat aku
tenang hingga mampu bertahan sampai detik ini. Sedih ? tidak kak, sok tahu
sekali mahasiswa yang satu ini. Haha”
“semoga Allah slalu melindungimu ya de’. Loh ? memang
iya bukan ? sudah jujur saja denganku.”
“amiin. Thank you. Hahaha. Hih, aku gak apa-apa
jelek.” Vivi mencoba untuk tertawa.
“iya deh iya, aku percaya sama kamu. Oh ya, ibu sama
ayah mana ? aku mau bicara dong.”
“Oh ternyata kangennya bukan sama aku, tapi sama ayah
dan ibu. Yauda jangan telfon aku, telfonaja mereka.” Tanggap Vivi sensitive
“hloh, aku kangen sama semuanya juga tau. Huh dasar
sensitive banget. Yauda mana ibu sama ayah aku mau bicara nih penting!”
“bohong! Ibu sama ayah lagi gak ada dirumah. Telfon
saja ke nomernya.”
“terserah. Sudah aku coba tapi gak diangkat-angkat.”
“yah! Itu karena mereka sibuk.”
“sibuk ? sibuk apa ?” Tanya Reva bingung.
“sibuk dengan pekerjaannya lah kak. Kaka gak tau kan ?
setelah kaka pindah ke jogja aku merasa sendiri kak. Ibu jarang dirumah apalagi
ayah. Belum lagi mereka bertengkar. Hah penat aku.” Kesalnya
“masa sih vi ?” jawab Reva tak percaya.
“iyah! Kaka gak pernah tau, karna kaka gak ada disini.
Aku kak ! aku yang merasakan ! sampai-sampai aku tak diperdulikan sekalipun
penyakitku kambuh ! kaka gak tau gimana perasaan aku saat aku merasa hidupku
tinggal menghitung hari, saat penyakitku kambuh seakan nyawaku akan dicabut,
lalu tak ada lagi orang-orang disekelilingku yang melihat mataku terpejam
sekalipun itu adalah ayah dan ibu. Sakit kak sakit !” rintih Vivi.
“hey, hey, hey. Kamu itu bicara apa sih. Jangan
negative gitu dong. Positif thingking aja vi, ayah-ibu sibuk juga buat kamu,
buat berobat kamu.” Dengan tenangnya menasihati Vivi.
“ah, kaka memang tak pernah tau, kaka gak pernah
ngerasain gimana diposisi aku, karna kaka adalah anak emasnya mereka. Aku
disini gak dianggap kak!”
“vivi ! apa sih kamu, kita itu saudara, sama ! gak ada
yang di beda-bedakan. Ayah sama ibu sayang sama kita, sayang sama kamu!”
“tapi kak, nyatanya ? seperti itu bukan ?”
“kamu salah vi, salah ! mana ada sih orang tua yang
gak sayang sama anaknya sendiri. Orang tua juga memperlakukannya sama gak ada
yang beda. Mungkin perasaanmu saja tuh yang terlalu sensitive dengan hal-hal
sepele. Udahlah disamping itu semua juga masih ada aku kan ?”
“masih ada kaka ? dimana ? ketika aku sedang sendiri
menikmati penyakitku yang mencabik tubuhku saat itu. Dimana kak ? hah ? gak
ada. Dimana usapan hangat tanganmu ketika aku sakit ka ? sungguh aku rindu itu,
rindu !” vivi terus melontarkan kekesalannya ke Reva, dengan sabarnya Reva
menasihati adiknya.
Tak lama mereka berbincang Hp Reva pun akhirnya mati
karena batrai habis.
“upsss” ucap Reva, “batre mandadak habis segala”
lanjutnya.
“haaah, benar semakin yakin
aku, kak Reva sudah tak perduli bahkan gak sayang lagi sama aku, tiba-tiba hp
dimatikan begitu saja saat aku bicara itu” cetus Vivi.
“hah, tidak-tidak ! gak
boleh suudzan, mungkin saja hp kak Reva mati kehabisan batre atau jaringannya
mendadak hilang maklum saja di pedesaan dan atau mungkin saja kak Reva kesal
jadi dimatikan begitu saja pembicaraannya. Huff, entahlah. Aku coba hubungi dia
kembali”
Vivi pun terus mencoba menghubungi Reva, berulang kali
dia coba namun tak ada jawaban satu pun. Sampai akhirnya dia tertidur bersandar
di kursi dengan berbalut mukena yang sebelumnya belum ia lepas.
“haah, sama saja. Tak ada
jawaban satu pun” ucap vivi dengan
mata mengantuk.
Tepat
hari rabu besok tanggal 12 desember 2012 adalah hari kelahirannya yang ke 17,
namun vivi tak mengetahuinya karena tahun-tahun sebelumnya dia tak merasakan
bagaimana suasana ketika hari itu tiba. Bahkan kedua orang tuanya pun tak
pernah mengucapkan selamat kepadanya. Vivi hanya berharap dan berdo’a kelak
nantinya semua orang yang di sayanginya berkumpul dirumah bersama merasakan
hari itu. Entah kapan tapi vivi yakin harapannya akan menyata.
Setiap
hari itu tiba dia selalu pergi ke sebuah taman indah yang tempatnya tak jauh
dari rumah, hanya menggunakan kendaraan sepedah pun bisa dilaluinya. Tepatnya
dibawah pohon yang terdapat bunga anggrek di bagian batangnya dan
disekelilingnya terdapat sekumpulan bunga lili. Vivi sangat menyukai tempat
itu, kebetulan tempat yang dia pilih untuk sendiri itu termasuk tempat yang
jarang orang tahu, sehingga membuatnya merasa nyaman saat sendirian. Dengan
sebuah buku yang berwarnakan hijau lalu bergambar animasi ia tuliskan di situ
kejadian-kejadian ketika hari ulang tahunnya tiba. Terkadang iya membuat sebuah
gambar indah yang didalamnya ada maksud dan harapannya. Terkadang ia membuat
serangkai puisi dimana disetiap baitnya terdapat harapannya kembali begitupun
dengan cerita-cerita yang ia buat. Ia melukiskan hebat sebuah harapan yang
ingin sekali harapan itu hadir menyata. Ia sadar, ia pun tahu tuhan (Allah swt)
telah mempersiapkan yang lebih dari apa yang diharapkannya hanya saja entah
kapan itu akan tiba menyapanya. Sabar ! tetap berdo’a kepada Sang Kuasa.
Hari
pun berlalu berganti hari yang baru, masalah yang baru, kejadian yang baru,
lalu ? wajah baru ? ahh tidak tidak bukan itu. Haha. Semua mungkin berlalu dan
berganti baru namun itu untuk orang lain bukan untuk Vivi, yang terus tenggelam
bersama masalah lalunya. Sama semua masih sama tak ada yang berubah. “teengg,”
alarm hp berbunyi tapat pukul 24.00. Vivi terbangun dan mematikan alarm itu
kemudian ia kembali melanjutkan tidur dan sebelumnya mukena yang dikenakannya ia
lepas. Sampai akhirnya ia terbangun kembali saat adzan subuh berkumandang.
“hoaammmm, sudah pagi, ayah
sama ibu sudah bangun belum yah?”
ucapnya
Vivi
membuka jendela kamarnya yang berkontak langsung dengan sinar matahari,
menghirup udara segar saat pagi hari sudah sering ia lakukan karena untuk
menyehatkan jantungnya yang melemah. Tak lama ia pun segera mandi dan shalat
subuh sebelum kehabisan waktu. Kemudian ia bersiap-siap untuk pergi kesekolah
tanpa melihat meja makan. Ketika ia ingin berpamitan sekolah kepada orang
tuanya, ia mendengar dari kamar ada suara suara yang mencengkam. Saat ia
melihat ternyata ayah dan ibunya bertengkar lagi.
“bertengkar lagi ? gak
mengenal waktu, setiap saat bertengkar kayak anak kecil” ucap vivi dengan santainya.
Bukan
lagi airmata yang melihat orang tuanya bertengkar, semakin hari ia semakin tahu
sehingga tak dapat lagi ia jatuhkan airmata. Allah telah menguatkannya menjadi
wanita yang tegar, sampai nantinya Allah menjatuhkan cerita yang baru untuk
merubah orang tuanya.
“yahhh, buuu, aku berangkat! Assalamualaikum” teriak
dari depan pintu dan menyalakan motor dengan suara yang ia bisingkan.
“capeek, ngeliat ayah sama
ibu itu berantem mulu, rumah udah kayak tempat perkumpulan orang orang
pelampiasan! Pernah gak sih pikiran mereka terbesit akan aku yang sedang
seperti ini? ya Allah kuatkan aku.”
Ucapnya sambil mengendarai motor.
Sampainya
di sekolah ia menutup erat masalah yang dirumah. Ia bergabung dengan
teman-temannya bercanda bersama seakan beban yang ada difikirannya itu hilang.
Ia tak ingin kesedihannya itu di ketahui banyak orang, jadi sebisa mungkin ia
melupakan masalah itu sejenak selama bersama teman-temannya. Vivi di kenal
pribadi yang ceria, baik, cerdas, dan terkadang ketika salah satu temannya
mendapat masalah dialah orang yang dicari untuk memberikan solusi. Vivi dekat
dengan siapa saja, ia berteman tanpa milih-milih, ia dekat dengan guru, ia juga
dekat dengan penjaga-penjaga sekolah. Vivi pun aktif di sebuah organisasi. Ia
menjabat sebagai sekertaris umum. Di organisasi itulah ia merasa keluarga yang
sebenarnya.
Ketika
merekap absen, vivi sadar bahwa hari ini hari rabu dan jatuh pada tanggal 12
desember, ia sadar hari ini adalah hari ulang tahunnya. Teman-temannya
menyembunyikan suatu kejutan untuknya. Sehingga vivi merasa bahwa tak ada satu
orang pun yang tahu akan hari ulang tahunnya.
“memang tak pernah ada yang
special saat hari ini tiba”
ucapnya dalam hati sambil menulis.
Setelah
pulang sekolah Vivi tak langsung ke rumahnya, ia pergi ke taman dimana tempat
tersebut adalah tempat biasanya Vivi menulis harapan. Ketika dalam perjalanan
menuju ke taman tersebut ia menyebarangi suatu jalan lalu ia mendengar suara
klakson dari arah yang berlawanan.
“tiiinnnnn, tiiinnnn”. Saat ia ingin melihat ke sumber
bunyi dari arah berlawanan itu daaann…..
“brruuuuuuuukkkkkkkk” vivi pun terjatuh dan terkapar dengan berlumaran darah di
tubuhnya. Lalu semua orang yang berada di jalan tersebut menghampirinya dan
membawanya ke Rumah Sakit terdekat. Suster dari rumah sakit itu mencoba
menghubungi kedua orang tuanya namun sayang tak ada jawaban, akhirnya suster
itu menghubungi salah satu kontak yang berada di handphonenya bernama “Reva”
kakanya.
“hallo, selamat sore, betul ini dengan kerabat vivi ?”
kata suster itu.
“selamat sore, iya benar, saya Reva kakanya. Ini
dengan siapa ya ?” dengan bingungnya.
“maaf mengganggu saya suster dari Rumah Sakit Harapan
Bangsa ingin memberitahu bahwa saudara Vivi sedang berada di Rumah Sakit dengan
kondisi yang tidak memungkinkan.”
“hah? Dia kenapa ?” ucapnya panik.
“adik anda baru saja kecelakaan. Diharapkan anda
secepatnya datang kesini.”
“astagfirullah, saya sedang berada di luar kota. Tapi,
akan saya beritahukan kepada orang tua saya disana. Terima kasih yah mba atas
informasinya.”
“iya sama-sama” sambil memutuskan pembicaraanya.
Tak
lama setelah memutuskan pembicaraan itu, Revapun menghubungi orang tuanya dan
ternyata tak ada salah satu dari mereka yang mengangkatnya (seolah-olah tidak
peduli dengan anaknya). Setelah Reva berusaha untuk menghubungi orang tuanya
dan tak ada hasilnya, Revapun bergegas untuk membeli tiket pesawat keberangkatannya
ke Jakarta.
Sesampainya
di Jakarta, Revapun langsung menuju Rumah Sakit Harapan Bangsa, lalu Revapun
menemui salah satu dokter yang berada di Rumah Sakit tersebut.
“maaf mengganggu dok, bisa antarkan saya pada pasien
yang bernama Vivi ?” dengan paniknya
“oh Vivi korban kecelakaan itu? baik akan saya
antarkan.” sambil menuju ruangan Vivi
“iya dok. Bagaimana keadaan adik saya?” Tanya Reva.
“keadaan adik anda sudah membaik hanya saja dia akan
sedikit lupa dengan orang-orang disekelilingnya.”
“maksud dokter ? dia amnesia ?” sontaknya.
“iyah, mungkin saat dia terjatuh, kepalanya terbentur
dengan benda keras.”
“astagfirullah hal’azim, Vivi” memeluknya dalam tangisan.
Kemudian jari jemari vivi pun bergerak.
“Alhamdulillah, Vivi kamu sudah sadar ?” kata Reva
menggenggam tangannya. Perlahan vivi pun membuka matanya dan mencoba berbicara.
“kak Reva.” Ucapnya perlahan.
“Vivi, kamu tahu ini aku ?”
“iyah kak.” Tiba-tiba terdengar suara handphone berdering,
dan itu punya Reva. Ternyata ada panggilan dari ibunya. Reva pun mengangkat “
assalamualaikum”
“waalaikumsalam ada apa va kamu nelfon ibu ?”
“ibu tahu gak kalo Vivi lagi di rumah sakit ?”
“ngapain dia disana ? dengan santainya bertanya.
“astagfirullah, ibu. Vivi kecelakaan dan sekarang
dirawat dirumah sakit ! aku aja dari jogja datang kesini. Sekarang ibu harus
kesini sama ayah ! di Rumah Sakit Harapan Bangsa !” ucapnya kesal.
Tak
lama orang tuanyapun datang dan masuk ke ruangan dimana Vivi dirawat.
“apa yang sudah terjadi dengan dirimu nak ?” kata ibu.
“kamu siapa ?” Tanya vivi
“astagfirullah, kamu lupa dengan ibu?”
“maaf bu, Vivi mengalami amnesia, jadi tidak semua
orang mampu dia ingat” kata dokter yang
menangani Vivi.
Akhirnya
Vivi hanya mampu mengingat kakanya “Reva”. Orang tuanya pun terkejut ketika ia
tidak mengingatnya dan disitulah kedua orang tuanya sadar dan menyesal bahwa
selama ini mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga tidak
memperdulikan keadaan anak-anaknya. Mereka
semua membuka lembaran baru, menutup
rapih lembaran-lembaran yang lalu, memulai dengan pelukan hangat dan menjaga
Vivi supaya ingatannya kembali pulih. Melalui kejadian ini tepat di hari ulang
tahunnya Allah menyatukan keluarganya yang sesuai dengan harapannya. J
Assalamuallaikum……
~The
End~
Komentar
Posting Komentar