NOVEMBER


SEMENJANA
        


Angin sudah melahap habis disisa ragaku yang terakhir. Hembusannya kini mengacaukan untukku menghilangkan ingatan yang sudah ku tata rapi. Ia pergi diam-diam ditengah matahari benderang, saat aku sedang sibuk-sibuknya menangis. Biasanya ia datang dengan penuh kehati-hatian. Namun, sekarang ia lupakan kehati-hatian itu dengan api. Tidak sehangat dahulu, tidak semenarik saat itu. Mudahnya, ia mengambil semua rasa yang sudah ku persiapkan jauh hari untuk hatiku yang lebih siap. Tapi, ia datang terlalu cepat dan aku masih meronta digedung tua sendiri.
Pertemuan terakhir, warnamu berubah ya, aku tahu. Kau sudah menyiapkan segalanya untuk kedatangan si angin ini kan. Bahkan, berulang kali aku mempertanyakan semua kejadian saat aku kehilangan, kau tetap tak jua menjawab. Sekali kita menatap, kau palingkan semua arah bola mata dan pergi meninggalkan tanpa harap apa-apa. Padahal, aku ingin mempertegas sekali tentang warna terakhir. Terkadang, kita saling berkamuflase untuk menutupi masing-masing kehancuran tubuh, atau kehilangan sekat demi sekat dalam jamuannya. Adakah yang kau tinggal, meski hanya satu ruas jari kelingking? Atau memang  warna itu sudah dibiarkan saja memudar tanpa perbaikan.
Radar yang kemarin menguat dengan sebuah kehadiran, kini aku tak menginginkannya lagi. Angin sudah melahap ingatan dan merusak signal diradarku dan seharusnya ku sampaikan terimakasih. Hingga, luka-luka yang menganga sejak pertemuan terakhir tidak lagi membusuk.
Siang hari saat matahari sedang terik-teriknya menyengat kulit tubuh manusia.  Angin menciptakan topan dengan begitu hebatnya. Aku melihat dan tak kupalingkan sedikit tatapku. Aku ingin tahu, bagaimana kau menyuruh alam semesta untukku terjatuh. Lihatlah, ingatan yang kau ambil itu, tak bisakah berhenti saja saat semua langit jingga meredup disisa akhir hari? Sebelum gelap memusnahkan semua kesakitan dengan kerinduan yang mencandu? Aku ingin berbaring ditengah rerumputan hijau, ilalang yang sedikit menguning, dan serpihan bunga-bunga kecil berterbangan. Lalu, kita menyaksikan bersama tentang kehangatan.
Angin belum setiba-tiba ini dan semesta membiarkan mata-mata kita beradu dengan manja. Sesekali dipulangkan dan diteduhkan, hingga binar saling menghantui di tengah dini hari. Tapi, semua hilang sekejap dan tidak ada kepercayaan diantara semesta, aku bahkan sekalipun kau. Aku sudah menutup semua kemungkinan dengan baik-baik dan berusaha untuk terus biasa-biasa. Satu detik kau datangkan angin dengan dingin, menyapu bersih raga, jiwa yang kupunya. Maka, perlahan kau bunuh aku dengan nyanyian liarmu di hari-hari yang tak lagi kutemui.
Warna telah memudar, seiring pekatku yang menghilang. Kalau semua pertanyaan siang hari tidak terjawab, aku kira, akan aku dapatkan dimalam atau paginya saat matahari mulai berpisah dan pamit pada semesta. Memang, aku mempersilahkan kehadiran ditengah hari dan suatu waktu bisa saja hari merenggut semua yang kupunya. Seperti kehangatan, kebebasan misalnya.
Kau biarkan angin itu berleluasa menghardik, menjarah hariku, hingga tak kulihat lagi langit biru, awan hitam menggumpal, air hujan, bahkan udara saat matahari sedang terbit, terik ataupun tenggelam. Radarku tlah rusak, signalku terputus, dan aku menutup semua akses untuk aku melihat lagi semesta diluar mata. Beranjak, aku kembalikan angin dingin untuk mengubah tubuhku. Aku menepi, kembali sendiri, beradu ditengah gedung-gedung tua yang kosong, remang-remang, aku mengabaikan penglihatanku untuk melihat adakah tubuh lain.
Akhirnya, aku terlalu takut untuk menerima, takut untuk sadar meski terlambat. Jauh, angin itu datang, tubuhku telah dihujanin cacian dan ingatan, sampai akhirnya yang aku simpanpun direnggutnya juga. Maka, aku tahu bahwa semesta memberhentikanku dengan sepihak. Kehangatan dalam setiap aduan, sandaran, perkataan aku membungkusnya dengan hati-hati agar tidak semengejutkan angin yang tiba-tiba meluluh lantahkan. Aku tahu, warna yang sempat terukir, semua berproses perlahan, hingga aku menemui dengan yakin bahwa warna yang kau punya adalah yang menarik. Tapi, ketika warnaku yang beradu, kau tak bisa membiasakan itu, lantas kau buang dengan sekejap. Tanpa pamit, tanpa sapa, tanpa aduan emosi.
Sudah, aku lupa bagaimana hari berjalan dan berganti. Rasa-rasanya apa yang dilakukan sudah dibungkamkan oleh semesta. Tak lagi berpihak, tak lagi diinginkan. Dikesaksian bumi, tanah kering, dan dedaunan yang menguning, aku cukupkan pikatku untuk berhenti disini. Sekian.



Komentar