Semalam setelah Hujan



Jagat raya puan penguasa
Jauhari hati enggan berbagi
Gelak malu jemari layu
Gempar sua omong kosongmu...

            Aroma basah tanah masih melekat tercium. Sisa hujan sore tadi, membuat suasana menjadi sendu. Bunga-bunga melayu tersiram terus-menerus oleh tetesan air hujan beberapa waktu lalu. Udara mencekik, dingin menusuk nadi. Jaket tebal menselimuti diri, menemani langkah kaki yang terus berlari mencari. Dingin mulai mengakrabkan diri oleh malam. Sepi, sunyi, bising kendaraan motorpun menepi. Hanya terlihat beberapa barisan kaki, berdiri dihalte bus. Cahaya remang mulai menerangi setiap sudut jalan kota ini, agar gelap tidak begitu merasuki. Malam ini bukan waktu yang salah untuk sendiri, bukan lagi anak remaja yang mencari jati diri. Semua itu bukan masaku. Masaku adalah masa untuk berbagi kepada sesama. Berbagi cerita yang harusnya disampaikan, berbagi pengalaman, berbagi pengetahuan yang meyakinkan, mengaplikasikan dari apa yang sudah terpelajari.
            Menyamankan diri dari sebuah keharusan, kewajiban. Gerakan sosial. Mungkin berat, tapi aku menikmati. Ditengah kesunyian malam, dengan udara yang begitu menusuk, menyadarkan diri oleh sebuah aksi. Aksi yang slama ini diinginkan oleh rakyat kecil. Bukan kobaran semangat dengan janji kosong. Memulai dari diri sendiri, aku meluruskan niatku, bergerak mengikuti langkahku. Kemana yang kutuju adalah sebuah usaha. Usaha mencapai kebahagiaan. Ya, kebahagiaan sesama. Mungkin, segelintir orang menunjukkan aksinya dihadapan publik. Semangat berkobar, menderu-deru. Terlihat siksa, dengan bercak-bercak merah darah dilengan dan tubuhnya, semua seakan tak berarti.  Yaa, ada yang memilih pergi untuk sebuah keadilan. Ada yang memilih bertahan untuk sebuah kesetiaan. Tidak ada yang salah, semua dalam pilihan, atas nama ikatan.
            Hari semakin gelap, barisan-barisan kaki dihalte mulai pergi. Belum waktunya aku untuk kembali. Aku masih harus menunggu bus giliranku. Entah, malam ini sukmaku goyah, mendengar perbincangan kedua lelaki tua yang berada tepat disampingku. Lelah, mengantuk-kantuk menjadi satu. Bersandar disebuah tiang besi halte, sesekali memejamkan mata tidak juga mengurangi sua lelaki tua itu terhenti. Mereka tetap asik berbincang, membicarakan masa mudanya dahulu. Mungkin, jika aku tua nanti, akan melakukan hal yang sama, seperti kedua lelaki tua itu. Malamku terasa lama, waktu berdetik sangat lamban. Entah ini karena menunggu bus yang tak kunjung datang atau karena mendengar perbincangan lelaki tua yang membosankan.
“... jalan hayam wuruk, lagi ada demo, dot. Mahasiswa, biasa. Pulang malam lagi kita, karena bis tujuan kita ga akan bisa lewat karna aksi itu.” Melipat koran yang telah dibacanya.
“iye, jay. Dulu kita kuliah belum sempet ikutan demo begitu.”
“ah elu, mana inget. Kite kan lagi berjuang-juangnya dapet nilai tinggi, lulus, direkrut sama perusahaan. Nikah, bahagia.”
“pemikiran jaman dulu, dah.” Sautnya.
“hmm, bapak-bapak nostalgia, begitu deh” ucapku dalam hati.
            Kedua lelaki itu masih tetap berbincang pada porsinya. Kesadaranku mulai berkurang, karena mengantuk. Angin berhembus, semakin membuat kantukku bermain-main. Sesekali terpejam, mendengarkan pula perbincangan lelaki tersebut. Seperti dongeng, mereka menceritakan kisahnya dan aku sesekali terlelap dihalte.
            Termenung, dua anak laki-laki disebrang jalan menghampiri halte yang berlawanan arah. Anak laki-laki bekisar 7 atau 8 tahunan, berjalan menghampiri satu persatu orang yang berdiri di halte dan toko-toko pinggir jalan. Berjalan, membawa kedua payung besar di tangannya, menawarkan jasa ojek payung. Saat itu hujan sedang turun dengan derasnya. Jam menujukkan pukul 9 malam. Bukankah seharusnya mereka sudah terlelap dalam mimpinya dan menyiapkan diri untuk bersekolah esok hari? Sampai akhirnya, ia menyebrangi dan berlari kearahku.
“ka, ayo saya antar.” Tawarnya senyum.
“iya, dek. Boleh, ke warung kopi depan sana ya.” Sambil menunjuk dan menerima payungnya.
“iya ka.”
“(sampai), makasih ya. Ini uangnya.”
“sama-sama ka.” Sautnya dengan ceria melihat uang.
“oh, ya. Siapa namanya?” tanyaku dan mengembalikan payungnya.
“guntur, ka.” Jawabnya sembari melipat payung.
“ikut, duduk sini dulu mau, ya. Ada coklat hangat, aku pesankan. Kasian, pasti kedinginankan? Jangan nolak, oke?” tawarku
“kalau, kaka maksa. Oke deh. Hehe”
“mas, kopi carebiannya satu, sama coklat hangatnya satu. Makasih” Ucapku pada pelayan warung kopi. “guntur, sudah lama jadi jasa ojek payung?” tanyaku
“lumayan, ka.”
“tinggal dimana? Kenapa malam-malam begini masih keliling? Memang besok tidak sekolah?
“aku tinggal dipinggiran sungai sana ka. Anak-anak di kampungku, putus sekolah. Kalau ada relawan saja yang datang mengajari kami, baru kami bersekolah.” Tersenyum.
“oh, iya aku tau. Kalau gitu, nanti kakak antar pulang, ya. Boleh? Yaa, karena kamu udah mau nemenin kakak ngopi disini. Lagian sudah malam juga, bajumu juga sudah basah kuyupkan? Kedinginan, nanti sakit kalau gak langsung ganti. Oke? Jangan menolak. Hehe” usapku sambil tertawa.
“terdiam, mengangguk.” Sembari menikmati coklat hangat miliknya.
            Perbincangan singkat aku dengannya, membuat jengah. Ada rasa yang teriris, sekat-sekat hampa yang ingin digubris. Aku pun mengantarnya pulang malam itu. Sengaja aku tidak meneruskan bertanya. Hanya bercanda sesekali dengannya, berperan seperti tokoh kartun. Tawanya seakan candu, hingga aku memutuskan untuk kembali pada esok harinya. Menghampiri dipemukiman tempat tinggalnya. Sendiri, aku hanya sendiri untuk menemuinya.
            Mentari sedang terik-teriknya hari ini. Hujan mereda setelah semalam aku mengantarnya pulang. Hari ini, langkah kakiku menuju tempat tinggalnya. Aku membawa beberapa boneka tangan diransel. Aku ingin bertemu, ingin bermain dengan anak-anak seusianya.. Ternyata, banyak sekali anak yang putus sekolah dipemukiman ini. Lagi dan lagi karena faktor ekonomi. Miris, hati sekan tersayat tanpa jelas. Berapa kali harus bersyukur diatas keadaan saat ini, yang slalu merasa kurang. Masih banyak diantara mereka yang butuh perhatian. Generasi muda yang terbelakang.
            Aku bermain dengan anak-anak disana. Mereka antusias, mereka senang. Aku menceritakan sebuah dongeng dengan properti seadanya. Boneka tangan dan wayang-wayangan yang kubuat semalam. Mereka tertawa, mereka berperan seperti tokoh dalam imajinasiku. Bahagia ini sederhana, aku membuatnya tertawa. Kita tertawa, meski terbalut rasa khawatir oleh keadaan. Aku menyelipkan cerita dongeng dengan beberapa pelajaran yang diterima oleh seusianya. Sedikit aku menyentuh mereka, dengan gurauan canda tawa. Respon yang baik ketika mereka berbalas menceritakan yang mereka pikirkan dan memainkan boneka tangan. Sampai akhirnya, mereka memintaku untuk kembali esok hari dengan cerita yang berbeda.
            Sepulangnya, aku bertegur sapa oleh beberapa orang tua disana. Mereka menyayangkan anaknya harus putus sekolah. Hanya mengandalkan relawan yang mengisi waktu luang mereka dengan kegiatan. Tetapi, sudah lama ini relawan-relawan tidak datang kesana. Beberapa orang tua mengeluhkan hal tersebut. Pendidikan yang minim, membuat orang tua kebingungan mengajari anak-anaknya. Mayoritas dari mereka adalah pedagang kaki lima, yang sewaktu-waktu bisa kena usir karena razia jalanan oleh satpol PP, untuk itu penghasilan mereka tidak tentu.
            Sehari, dua hari, hingga berminggu-minggu lamanya, langkah kakiku tak terhenti untuk berjalan ke pemukiman tersebut. Ada rasa yang terbalaskan, namun sulit dijelaskan ketika bertemu mereka. Anak-anak manis, yang belum banyak tahu kehidupan. Selama disana aku mulai menjamah orang-orang dewasa. Ibu-ibu, bapak-bapak hingga lansia pun berkeluh kesah dihadapanku. Sekali lagi, ada rasa yang teriris, ketika hanya bisa mendengarkan.
            Cerita dongengku takkan lekang untuk mereka. Ada yang tersampaikan perlahan, membalas masa kecilku yang hilang. Mereka, anak-anak muda generasi bangsa. Menyentuhnya dengan ucapan, belaian, kasih dan sayang membuat mereka kembali hidup dalam keceriaan, sebagaimana anak diusianya. Aku memutuskan untuk datang kembali, membawa atas nama ikatan. Merah, membara. Semangat berapi. Bersama kawan, ‘ringan sama dijinjing, berat sama dipikul’. Ini negeri dengan berjuta manusia disetiap kotanya. Kita punya hati, kita punya mimpi, kita lakukan aksi dan itu nyata bukan ilusi. Tidak perlu publik tahu, biar tidak dikata palsu.
            Hari berganti, sebuah aksi terdedikasikan oleh waktu. Berbulan-bulan waktu berjalan, aku dan ikatanku terus mengisi kegiatan disana. Hingga akhirnya menjadi jadwal rutin untuk berjumpa dengan mereka. Banyak kegiatan yang sudah diisi untuk semua warga dipemukiman tersebut, sesuai dengan usianya. Anak-anak, remaja, dewasa, hingga lansia kami bersenang-senang, berbagi canda dan tawa. Sesekali kami membuat perlombaan kecil untuk memeriahkan kegiatan. Intervensi yang dilakukan disana, menyesuaikan pula dengan usianya. Sesekali kami menyelipkan pentingnya kesehatan, psikologis, serta ilmu agama. Mengaji dan cerita dongeng sejarah nabi menjadi kegiatan favorit anak-anak disana. Mereka antusias, mereka bercengkrama dengan baik satu sama lain. Semua berjalan baik, susah senang kami berbagi dan banyak pelajaran dari pemukiman tersebut untukku dan kawan-kawan seperjuanganku. Jatuh cinta pada sesuatu yang berlandaskan atas nama Allah dan Allah izinkan semua langkah kaki berjalan. Damai. Apa lagi? Bukan untuk aku, bukan untuk kami, ikatanku, tapi untuk semua yang bertanggung jawab atas bumi ini.
            Membahagiakan diri perkara hal yang mudah, namun bagaimana membahagiakan diri dengan menularkan semangat pada orang lain dan bahagia bersama. Hari-hari itu menjadi singkat, ketika aku mulai menikmatinya. Gelora merah dalam hati ikut tersampaikan dengan tindakan nyata. Tangan-tangan kemauan yang sulit ditemukan. Cerita dongeng berlanjut, hingga mereka mampu bercerita dongeng yang berbeda.
“tiiinn....tiiinnn” klakson bus.
            Seketika, aku terbangun. Setelah mendengar bunyi suara bus. Aku pun bergegas pulang, dengan bus yang penuh dan berdesak desakan. Lelaki tua tersebut masih menunggu bus gilirannya datang. Terdengar, akhir pembicaraan mereka bukan lagi masa lalunya, tetapi saat ini dengan keluarganya. Aku tak lagi mempedulikan isi perbincangan lelaki tua itu. Aku sudah dalam bus, aku pulang, dan anak laki-laki itu ? oh, tidaak. Tadi itu mimpi. Aku terlelap ketika mendengar kedua lelaki tua berbincang menceritakan masa mudanya. Itu mimpi, mimpi. Tapi, bukan hal untuk buta kenyataan. 
            Hari kembali pagi, awan hitam menyingkirkan diri sesaat untuk mentari yang hangat. Semalam setelah hujan, dihalte bus aku terlelap mendengar perbincangan lelaki tua. Aku bermimpikan sebuah semangat yang hadir dalam diri. Itu akan menjadi mimpi jika tidak dilanjuti dengan usahaku. Mimpi akan terus menjadi ilusi jika tidak dilakukan dan bergegas mewujudkan. Aku tersadar setelah hujan semalam, aku adalah bagian dari anak muda generasi bangsa. Satu lidi akan mudah sekali patah, tetapi jika segenggam lidi menjadi satu kesatuan. Sekuat apapun dipatahkan akan terus bertahan. Sebuah ikatan menyadarkanku untuk terus melanjutkan dakwah, meski hanya melalui tulisan ataupun cerita dongeng. Mimpi semalam adalah pesan untuk terus meneruskan kaderisasi. Ikatan yang tidak akan luntur, sekalipun dihujani air laut. Jatuh cinta atas nama dan izin Allah, semalam setelah hujan. Semangat terus berapi, membawa merah dalam hati dan cinta menggapai cita serta mimpi.
                                                           
                                                                                                
           Syahdu-syahdu anginan unjuk diri.
                             @sagita_deskia


Salah satu naskah cerpen yang dilombakan.

             

Komentar