Hubungan tanpa Temu





“Aku jatuh cinta, pada seseorang yang sampai detik ini aku tak tahu warna matanya.” - Racteverso

Cahaya remang kembali bertugas menyinari setiap sudut kota ini. Bangku-bangku tua yang sengaja terpajang disisi-sisi jalan. Seakan tak pernah lepas suasana hingar-bingar kota ini. Kota yang selalu membawa rindu pada pemiliknya. Kota yang slalu membawa kenangan untuk pulang ketempatnya. Jogja. Kota manis, klasik tapi tak seklasik pertemuanku dengan seorang pria. Ya, seorang pria yang tak pernah absen pada rindu dan tak pernah lupa dengan jarak.
            Aku pernah jatuh cinta, seperti kebanyakan remaja lainnya. Merasa seakan dunia memang hanya untukku dan slalu tentangnya. Merasakan waktu cepat sekali berlalu ketika bersamanya. Merasakan hari-hari atau bahkan detik-detik yang tak pernah lepas olehnya. Apapun itu hariku penuh bunga-bunga. Tersadar, inikah jatuh cinta sebenarnya? Jatuh cintaku cukup sederhana, sesederhana melabuhkan hati padanya bahkan sesederhana genggam tangan yang terlepas. Sayangnya, kesederhanaan itu slalu dipermainkan. Entah apa yang salah, sampai-sampai hatiku kembali membeku.
            Aku sudah berlabuh kesegala tempat dan aku slalu mengikuti kata hati ini. Kemana angin ingin membawanya dan dimana angin kan menjatuhkannya. Tapi, aku slalu takut untuk memulai. Aku takut abstrakku tak sesuai dengan abstraknya. Seperti perempuan lainnya, yang hanya bisa menyimpan perasaan. Ya, begitulah aku. Otakku sudah terhipnotis oleh kehilangan dan kepergian. Sejauh ini, aku slalu disadarkan oleh pertemuan dan kepergian dengan tidak hormat. Sakit memang, namun aku belajar pada sebuah kenyataan bahwa tidak ada yang benar-benar tinggal menetap, tidak ada yang abadi. Semua akan hilang pada waktunya dan aku pun sadar bahwa sebuah pertemuan, sebuah kehadiran slalu berakhir kepergian. Entah pamit ataupun tidak. Tapi memang begitulah kehidupan dan itu slalu berputar. Hilang satu, hadir baru. Sejauh mana hatimu kuat merasakan kenyataan itu, sejauh mana hatimu kuat dengan kehilangan dan sejauh mana hatimu bersabar menunggu. Karena, itu aku pun berusaha untuk baik-baik saja.
             Bukankah, Tuhan sudah merencanakannya? dan siapapun yang hadir dalam kehidupanku, itu memang bagian dari rencana-Nya. Jika tidak, mana bisa aku belajar untuk kuat dan paham jenis-jenis cinta palsu. Haha. Percaya saja, siapapun yang hadir mengisi kekosongan ini sebatas singgah dan akan berpindah. Pada waktunya, singgah itu berganti menjadi sesuatu yang indah. Berapa lama kubiarkan hati ini kosong. Mungkin dia sudah berlumut, sudah berdebu, sudah usang layaknya lembaran foto-foto. Aku slalu berhenti didermaga yang cantik, dengan jajaran lampu-lampu remang. Lalu, tersambar ombak-ombak laut yang berkejaran ketepi. Sebuah dermaga yang slalu kutemukan tak sama. Dermaga indah seperti film-film. Jelas saja, yang indah hanya singgah. Itu dermaga. Begitupun hatiku. Kusiapkan segala kemungkinan terkikisnya bagian dermagaku yang sewaktu-waktu bisa hancur karna ombak lautan.
            Menyiapkan hati, menyiapkan dermaga baru dan ini tak sama. Dari yang sudah-sudah singgah, tersapa hangat. Namun, saat ini dermagaku terasa dingin. Angin laut tak seperti biasanya berhembus lembut. Kini, angin laut didermagaku, berhembus kencang, ombak mengamuk, dan udara didermagaku sangat dingin. Siapa yang ingin singgah ? bahkan burung-burung bangau pun takut menghampiri dermagaku. Entah, aku pun terbiasa dengan dermaga ini dan aku nyaman. Jangan salahkan dermagaku, ia hanya ingin melihat siapa yang akan bertahan dari singgahnya. Bukan hanya datang, menginjak tanpa salam lalu pergi. Dermagaku benci itu. Benci ketidakhormatan.
            “aku jatuh cinta, pada seseorang yang sampai detik ini aku tak tahu warna matanya” (Racteverso). Aku mengalami itu, aku mengalami ketidakjelasan itu. Perkenalanku berdasarkan atas ketidakmungkinan seseorang. Tapi, aku suka, aku hanyut dan aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta, pada seseorang yang belum pernah kutemui. Hanya dengan seberkas foto yang terunggah diakun media sosial dan hanya dengan sapa tanya disebuah akun. Lantas apa ini salah ? apa perkenalanku dengan seorang pria yang tak aku ketahui ini salah ? tidak, jika ini hanya kedekatan sebatas teman. Tapi, ini salah karna aku mulai merasakan getaran aneh itu lagi. Getaran yang sudah lama aku rindukan. Getaran aneh yang slalu buat mabuk kepayang. Pertama kalinya, aku jatuh cinta dengan seseorang yang rupanya tidak aku ketahui. Ini cinta, atau main-main? Entah. Kedekatan ku dengan seorang pria hanya sebatas sapa tanpa temu. Hanya sebatas emoticon tanpa beradu tatap. Dimana cinta itu ? hatiku sudah lama membeku, karna luka yang digoreskan berkali-kali. Hatiku sudah lama membeku, krna luka kehadiran dan kehilangan. Hatiku sudah lama membeku dan itu karena pria masa lalu. Namun, ketika hati ini membeku sangat beku, ada yang perlahan masuk untuk mencairkan. Seakan merubah hembusan angin didermaga yang kubuat. Seakan ombak tak terlihat kejam saat menghempas. Seakan langit jingga hadir memberi sapa didermagaku. Seakan semua menjadi magic. Aneh.
            Perkenalan ini berdasar atas ketidakmungkinannya. Ketidakmungkinan pada sebuah jumpa dan beradu tatap. Berlanjut, justru semakin dekat. Kedekatan ini harus diartikan apa? Bahkan kita tak pernah bertemu, walau sekedar sapa dan pergi. Kedekatan ini hanya dengan sebuah sapa tanya dengan kata dan suara. Mata kita tak pernah manja untuk beradu, meskipun slalu menginginkan temu. Sebatas foto, semua mengekspresikan apa yang aku rasa dan dia rasa. Memang, jatuh cinta seunik ini? aku nyaman, begitupun dengannya. Malam itu, tepat tanggal 12 dua bulan yang lalu, bintang seakan bersinar lebih terang, langit cerah. Angin-angin berhembus lembut dan menghangatkan, seakan menyampaikan rasa yang berbisik pelan. Dia, dia yang aku simpan ceritanya dari khalayak umum, mengungkapkan perasaanya. Aku pernah merasakan kehilangan saat perasaanku sedang berderu kencang dan ia pun sama. Ia pernah merasakan kehilangan, diatas kepercayaannya. Perjalanan cintanya hampir sama, dan kita sama-sama mengobati diri, mencari kebahagiaan baru. Meskipun sulit, dan membutuhkan waktu yang lama, kita beranjak dari si gelap, sama-sama menatap indahnya langit jingga dari kejauhan. Karena itu, aku menjawab “iya” diantara sebuah tanya. 
            Ada keraguan yang ditakutkan darinya. Menurutnya, perasaan ini aneh, tidak berdasar pada sebuah tatap yang tertinggal. Tapi, sebuah kenyamanan yang berlandaskan pada kata. Dia meragu dan aku menahan egoku. Meski terjawab “iya” diatas tanyanya, jika ada ragu, lebih baik menyurutkan dari pada akhirnya sama-sama terluka. Sekejap, keraguan itu teryakinkan oleh kalimatku “kalau memang ga bisa, ya ga usah aja. Masing-masing dari kita belum sembuh total dari luka yang lalu. Aku nyaman sama kaka, aku suka, kaka baik. Tapi, kalau memang jarak menghambat rasa. Aku bisa apa? Akan ada banyak perempuan yang hadir didekat kaka dan akan lebih intens ketemu sama kaka. Apa daya aku yang jauh dari kaka? Kalau memang jarak membatasi rindu. Ga ada yang salah. Aku ikut maunya kaka, bertahan dengan keraguan atau bertahan dengan kenyataan.” Dan iapun bertahan pada kenyataan, melepas keraguan. Detik itu, kami sepakat menjalin hubungan- jarak jauh.
            Banyak yang tidak disadari oleh sebuah jarak. Terkadang hubungan slalu kandas hanya dengan jarak. Padahal jarak tak pernah terlihat kejam dan merusak. Jarak hanya sebatas kata dan hadir karena keraguan dan ketidakpercayaan pada pasangan. Aku percaya pada hari yang akan mempertemukanku dengannya. Aku percaya pada hari yang lebih baik dari hari ini. Aku percaya padanya. Aku percaya semua akan baik-baik saja. Aku percaya, ya aku slalu percaya. Entah, apa yang akan mematahkan kepercayaan itu. Aku hanya yakin pada diriku dan dia sebagai pasangan perdanaku.
            Sehari, seminggu, sebulan. Aku pun melalui semua waktu dengannya tanpa temu. Sedikit banyak aku mulai mengetahuinya lebih jauh, tapi tak sejauh jarakku dengannya. Kesukaanku pada sesuatu yang manis, seperti senja. Ternyata menjadi kesukaannya juga. Merangkai kata, mengungkapkan apa yang dirasa. Manis dan slalu ada yang tertinggal. Bukan matanya, tapi makna yang dituliskannya dengan rangkaian foto senja yang terunggah. Aku jatuh cinta untuk kesekian kalinya pada pria yang menyukai senja. Entah, kebekuanku mencair. Pria ini pria baik. Mempercayaiku diatas keraguannya. Menguatkanku diatas lemahnya. Menyadarkanku pada sebuah kepercayaan. Aku suka. Pria manis yang belum pernah aku temui.
            Beranjak dari waktu ke waktu. Ada rindu yang berulang kali terucap dan menginginkan temu. Aku menjadi takut. Takut dengan sebuah jarak yang menghantuinya. Ternyata, benar. Ketidakmungkinannya hadir dan memilih untuk melepaskan kenyataan. Apa artinya sebuah hubungan tanpa adanya tatap ? apa artinya sebuah hubungan tanpa adanya genggaman ? apa artinya sebuah hubungan tanpa adanya temu ? apa artinya sebuah hubungan tanpa adanya pelukan ? lagi dan lagi disadarkan oleh jarak. Rindu berbatas jarak, meleburkan yang sudah tertata, hati-harapan. Aku kalah. Aku kalah dengan ketidakmungkinannya. Aku kalah dengan keraguannya. Aku bagai ilusi. Aku hanya suara yang ditiadakan. Aku semu. Aku hanya bagian mimpinya. Aku tak menyalahkan jarak, aku tak akan menyalahkan perasaan dan aku tak menyalahkan siapapun. Karena kedekatan ini aku yang mau, dia juga yang mau. Ini hanya waktu yang belum tepat. Ini hanya kehadiran untuk menyiapkan hati. Memperbaiki dermaga, menyusun ulang. Terima saja, ini untuk dermagaku yang lebih indah.
            Dermaga ini tidak rusak parah, ombak tak mengamuk. Angin berhembus stabil, tidak menderu-deru. Mungkin, aku tak menyapa siapa yang akan datang mengunjungi dermaga. Aku membiarkannya. Tak semudah itu membalikkan hati yang beku. Kehadirannya hanya mengisi sisi kosong dan mencairkan setittik kebekuan. Singgah yang tak tetap.
                                                                        ****
Sore ini langit tak berjingga. Awan hitam pekat, bertahan menyelimuti langit sejak pagi tadi. Mungkin, akan turun hujan. Aku masih diperjalanan menuju stasiun. Aku bertemu dengan beberapa rombongan bis dari kota, disalah satu kota Jabodetabek. Sesaat aku teringat tentangnya. Pria hangat itu. Hatiku baik-baik saja, hanya sesekali ada rindu yang menyelip ditengah aktivitasku. Aku tak berusaha untuk melupakannya. Biar saja rinduku dimakan waktu dan rasaku gugur perlahan. Aku hanya perlu menikmati yang sudah-sudah. Seperti menikmati manis, pahitnya kopi.
 Hari ini aku beranjak beberapa waktu dari kota Jogja. Aku kembali ke kota kelahiran dulu, menjenguk kedua orang tuaku. Entah aku rindu aroma basah tanah di kota kelahiran. Aku rindu menikmati secangkir teh dirumah dengan pisang goreng. Aku rindu segala hal kecil yang dilakukan disana. Selain itu, bentuk pengalihan rinduku tentangnya. Sesampainya distasiun, aku masih harus menunggu kereta. Yaa, wajar saja keberangkatan kereta jam 11 malam, dan aku sampai distasiun jam setengah 7. Kembali diuji oleh sebuah tunggu. Aku benci itu, maka dari itu aku memilih untuk berjalan-jalan disekitar stasiun Tugu. Malioboro. Mencari makanan untuk mengganjal perut dan mencari sesuatu yang unik untuk buah tangan.
Kereta datang. Tepat pukul 11 malam. Aku bergegas masuk ke gerbong kereta. Ternyata masih sepi. Ditengah perjalanan aku mengantuk dan akupun tertidur untuk waktu yang lumayan lama. Dipemberhentian, salah satu stasiun kota. Aku terbangun, melihat kursi-kursi disetiap gerbong kereta mulai terisi. Tapi, entah depan kursiku masih terlihat kosong begitupun samping kursiku. Santai saja, aku pun melanjutkan perjalanan tidur. Tak lama, aku merasa ada seseorang yang sedang berdiri dihadapanku. Akupun terbangun. Ternyata ada seseorang yang mengisi kursi didepanku dan sedang meletakkan barangnya ditempat barang. Saat itu aku masih menggunakan masker dan kaca mataku. Kemudian, aku bersandar dijendela sambil memainkan hp. Lirik dilirik, sepertinya orang yang duduk didepan ini pernah aku tahu. Lama aku mencari tahu siapa, kulihat kontak whatsapp dihp. Ternyata, pria hangat itu. Pria yang slalu mengacaukan kerinduan. Terdiam. Sumpah sumpah. Gemetar tanganku. Dia seakan tak mengenaliku. Mungkin karna aku memakai masker. Tak lama, aku sengaja menchat dia.
“lama ga ketemu. Mau kemana ka?”
Semenit, dua menit aku menunggu balasannya. Aku terus melirik lirik kedepan. Sampai akhirnya dia menggenggam ponselnya dan membalas chatku.
“maksudnya?”
“lagi naik keretakan ? mau kemana ? jakarta ?”
“iya, loh kok tahu ?”
“taulah, siapa yang ga tau. Kaka ga sadar ya?”, “aku didepan kaka.”
Dia sempat melihat kearahku dan aku kedipkan mataku. Tak lama aku membuka masker yang kukenakan dan kita highfive. Aku mulai berbincang dengannya, untung saja dikursi itu hanya ada aku dan dia. Jadi, aku bisa sedikit leluasa berbicara dengannya. Masih ga percaya dan seakan mimpi. Aku bertemu dengan pria yang slama ini ada tapi tak nyata. Saat ini terbukti pada kepercayaanku pada hari yang akan mempertemukanku dengannya. Baru saja tadi sore aku melihat beberapa rombongan bis dari kota asalnya dan membayangkan bertemu dengannya. Ternyata aku, benar-benar bisa berjumpa. Bisa beradu tatap dan kini aku tahu warna matanya. Cokelat.
“apa kabar ka?” ucapku, sambil beberapa kali melihat kearah jendela. Gugup.
“baik, kamu sendiri gimana ? habis liburan yaa ?” balasnya.
“baik juga. Iya nih. Kaka mau kemana ? balik ?”
“iya, balik. Kemarin habis ngunjungin oma.”
“sendiri aja ka, ga sama ponakannya?”
“masih inget aja. Engggak, dia uda duluan balik.”
“masihlah, susah sih dilupa. Ooh.”
Seketika hening. Pembicaraan kita mati dan aku kembali terlelap. Ini mimpi atau aku buta kenyataan ? oh tidaak. Dia belum sepenuhnya hilang dan masih membayangiku disetiap perjalananku. hmm dan entah kenapa gerbong itu sangat dingin. Tidak seperti biasanya yang aku naiki. Ini jauh lebih dingin. Kebetulan aku tidak membawa jaket, karna aku pikir tidak akan sedingin ini. Aku setengah sadar. Mataku masih tertutup enggan terbuka. Sesekali kumainkan tangan dengan menggosokkannya dan meniupnya. Tak lama ada seseorang yang duduk disampingku dan menyelimutiku. Kubuka mataku, ternyata dia. Apa ini. Ini apa. Jangan berikan aku kenyamanan yang nyata lagi. Lukaku belum mengering. Rengekku dalam hati.
“loh, ka ?”
“kenapa? Udah tidur aja, kedinginankan.”
Aku pun terdiam dan tertidur. Senang jauh lebih senang. Meskipun aku tahu ini hanya sesaat. Ini hanya sementara dan akan terluka lagi. Tapi, aku menikmati untuk waktu itu dan tak kusia-siakan.
            Terbangun, mentari sudah beranjak. Langit cerah. Semburat sinar mentari merambat naik, jingga. Semalaman aku tidur, kepalaku bersandar dibahunya. Malunya. Sudahlah, akupun beranjak melihat sang fajar. Kereta sedang berhenti untuk mengisi air dan lumayan lama. Aku keluar dari gerbong dan merekam objek-objek manis distasiun entah dikota apa. Langit jingganya manis, berulang kali kupotret. Sampai akhirnya ada yang mendekat.
“kok ga bangunin sih? Motret sendirian aja.”
“eh, kak. Yaa, kaka tidurnya pules banget sih. Ga tega aku bangunin. Masih suka sama sesuatu yang manis?”
“masihlah, sini aku fotoin.”
jekrek” dan akupun difotonya dikameranya. Aku tidak membalas fotonya. Biar saja dia yang menyimpan fotoku meskipun siluet. Hasilnya bagus. Aku suka. Aku tak lagi-lagi terjebak olehnya, untuk itu kubiarkan waktu ini mengalir. Karna, tak lama aku akan disadarkan oleh jarak.
“makasih, kak.”
“makasih untuk apa?”
“makasih uda fotoin aku. hahaa”
“ahelah” sambil mengusap kepalaku.
“STOP ka, STOP. Jangan perlakukan aku kek gini. Mati, mati. Ada yang tertinggal dan akan sulit dilepaskan. Ah.” Ucapku dalam hati.
“eh, kak seriusan makasih.”
“iya ih bawel, sama-sama. Biasa aja napa.”
“makasih buat semuanya. Dari awal kenal terus sempat punya hubungan yang aneh itu. Haha. Apapun deh makasih, makasih juga ga menghindar pas bener-bener ketemu, kek sekarang.” Ucapku sambil beranjak ke gerbong kereta.
“iya, dek. Gue minta maaf yaa. Gue uda nyakitin elu banget yaa.”
“enggak, kok ka.”
“boong lu, itu postingan lu jadi melow semua.”
“mmm, baca juga yaa. Haha. Enggak kok enggak itu cuman iseng aja.” Padahal sebenarnya postingan itu memang untuknya.
“hih, dasar.” Kembali mengusap kepalaku.
            Pertemuan ini kenapa tidak diakhiri saja atau bahkan tidak usah terjadi. Aku takut perasaanku tertinggal sepanjang rel kereta ini. Aku lemah beranjak. Aku salah, seharusnya aku tak menyapanya. Seharusnya aku berpindah ketempat lain. Seharusnya aku tak pergi hari ini. Mata kami sudah beradu, tahu dimana harus pulang dan melabuhkan rindunya. Mata itu tak pernah kosong ketika menatapku. Ia meninggalkannya dikedua bola mataku. Ada yang jatuh. Entah apa itu dan sulit dilupa. Jatuh cintaku berkepanjangan. Bahaya. Aku harus menyiapkan dermaga yang lebih kokoh. Jangan hadir jika tak ingin menetap. Aku lelah. Aku lelah slalu disadarkan oleh jarak dan ketidakmungkinannya. Temu itu hanya mimpi saja. Mimpi yang tak akan menyata. Seperti apa yang ia ragukan. Aku senang, meskipun hanya sebatas mimpiku. Setidaknya aku tahu warna matanya dan seberapa tinggi dirinya.
            Perjalanan ini menjadi klasik karna dirinya. Aku yang harus menyiapkan segala kemungkinan hatiku. Singkat. Cukup singkat kehadirannya. Saat disadarkan semua menghilang, layaknya cinderella yang harus pergi saat jam 12. Aku pun demikian. Aku menyiapkan diri dari kenyataan yang ia buat. Dermagaku kembali dingin. Bawa pergi apa yang sudah ditinggal, jangan biarkan itu tetap tinggal. Karna aku akan gagal. Gagal mempertahankanmu dan gagal melupakanmu.


                                                                        -A.S-



Minggu, 11 Desember 2016
13.05 WIB
Yogyakarta.

Komentar

Posting Komentar