Kabut Abu-Abu



Kita memang pernah sama-sama terluka. Perih dan kecewa dengan cinta itu mungkin masih ada pada diri kita masing-masing. Aku tak akan menyalahkanmu jika memang itu masih tersimpan. Karna, aku pun masih sedikit menyimpan luka itu. Tapi, bukankah kita juga pernah berjanji untuk sama-sama beranjak perlahan ? Kau menggenggamku, kau menguatkanku dan akupun demikian. Namun, seakan semua janji itu diambang keraguan. Seketika keyakinan itu berubah menjadi sesuatu yang abu-abu dan sulit ku terima. 
Kau pun merubah dirimu menjadi sesuatu yang sulit diterka. Kau seperti kabut. Ada namun hilang rasa. Kau menjadikanku yang paling kuat dan percaya. Kuat, ketika banyaknya orang yang menghujat dan menyakiti. Percaya, dibalik ketidakpedulian orang-orang, pasti ada yang sayang dan takut kehilangan kita. Saat itu, kau seperti energi. Ada ketika aku jatuh dan tak berdaya. Menggenggam ketika lelah. Lalu kepercayaan itu tumbuh dan ada dikamu. Lagi dan lagi kau menyadarkanku bahwa cinta itu ada. Seketika, racun-racunmu mulai merasuki alam sadarku. Aku jatuh cinta.
Kau mengiyakan rasaku, berlanjut oleh waktu-waktu yang terbawa manis. Malam-malam yang sepi pun terganti. Kursi tua dipinggir kotapun terisi oleh segelintir orang yang singgah. Aroma basah tanah setelah hujan tak seperti biasanya yang menusuk sunyi. Cahaya remang dipinggir kota berganti menjadi cahaya kelap kelip dengan lampu warna-warni. Mungkin, waktu ini menjadi waktunya bermanis ria dengan kota dan sebuah hubungan. Iya, kamu.
 Ibarat kopi, cinta pun sepertinya. Ingin manis ? ya, sesuai takaran yang diinginkan. Ingin pahit, ya nikmati sesuai keinginan. Pilihan bukan ? cinta ini manis, dan aku memilihnya. Meskipun tak seperti pasangan pada umumnya yang slalu menghabiskan waktu bersama. Kami hanya berbatas jarak dan itu menjadi keraguan yang slalu dikhawatirkan. Sampai disuatu waktu, setelah kemanisan kopi itu berakhir, ia menginginkaan ampasnya pun ternikmati. Pahit. Ya, dia menginginkan sebuat temu, bukan sekedar komunikasi jauh.
Apa artinya sebuah hubungan tanpa adanya tatap ? mati. Ia menginginkan bola mata kami beradu. Namun, sulit karna berbatas jarak yang tak dimungkinkannya. Aku percaya pada hari yang akan datang untuk mempertemukan. Aku percaya pada waktu yang meyakinkan. Aku percaya itu. Tapi, kamu ? keraguanmu hadir, dan melenyapkan segala angan yang sudah kususun rapih. Ketidakmungkinan tak logismu yang mengalahkanku, sampai kau melepaskan apa yang udah kupertahankan.
Kau hanya takut melukaiku, tanpa berfikir yang kau lakukan sudah membuat luka. Luka yang perlahan mengering karnamu, justru digores lagi. Kau tahu sakitnya ? ini sulit buatmu karna jarak, lalu apa kabar dengan hatiku yang slalu memendam segalanya yang berharap kau benar-benar utuh.
Tersadar kedekatan ini hanya berdasar pada sebuah ketidakjelasan. Ketidakjelasan yang kau buat, hingga hatiku berpijak disana. Ini permainanmu dan kembali menyadarkanku bahwa hati yang sudah lama beku tidak semudah itu menerima hati yang baru.

-     A.S - 

Komentar