(apalah itu)


          Terhentak dalam luapan emosi, yang menghadirkan sekilas bayang semu. Menahan isak tangis, sama seperti memendam rasa ini bertahun-tahun lalu, yang slalu kau seguhkan setiap harinya. Dalam tatapan, pembicaraan yang senantiasa mencabik. Mungkin tertusuk pedang akan lebih baik perasaanku yang tak akan terus merasakan sakit. Terpangku dalam luapan emosi yang tertahan, airmata yang senantiasa bertahan di kantung mata, sama saja membunuh diriku secara perlahan. Sepatah kata pun tak terucap. Adakah yang salah dalam diri ini ? adakah yang salah dengan kehadiranku sebagai seorang perempuan ? seorang anak ? seorang teman ? seorang sahabat ? seorang yang mungkin seharusnya bisa diterima diantara yang lain.
          Maaf,  saja bahkan aku tak mampu berucap saat semua mulai menyudutkan ditepi keramaian. Aku memilih diam dari sorotan mata yang begitu tajam, dari ucapan yang begitu menyakitkan. Aku diam dengan emosiku, aku diam dengan airmataku. Diam dan hanya mampu terdiam. Nyatanya, semua itu tak kan berujung pada sebuah tanya untuk sebuah jawab. Mereka yakin dengan dirinya, dan aku ? akupun demikian. Aku hanyalah ampas kopi yang tak berarti. Aku hanyalah debu, yang mengusang dikehadiran mereka. Aku, aku hanya sebatas dahan yang mengering yang tak akan pernah dan tak kan pernah bisa menjadi kelopak. Yaa, memang tak sepenting mereka dalam kehadirannya.
          Apa kehadiran selalu berarti penting ? jika, iya, lantas untuk apa ada kecewa ? menyakitkan ? jika nyatanya pertemuan membawa pada ikatan ? karena supaya kita belajar kuat. Oh, tuhan. Kuat. Yaaaa, lantas dari mana tahu tentang kuat ? jika slalu terambingkan ? aku bukan baja yang tak pernah tembus ditusuk oleh pedang manapun. Aku bukan karang yang slalu bertahan kala ombak menghempasnya. Aku pun bukan badai tonson yang mampu mencacah habis semua raga yang mereka punya. Aku hanyalah aku, dengan segala ketakutan dan kediamanku. Patung, membisu. Membiarkannya memenjarakanku. Bodohnya.
           Nyatanya, yang lebih menyakitkan adalah ketika sudah terjalin sebuah ikatan. Hah, apa ? keluarga ? sahabat ? teman ? semua sama. Tak ada yang harus diperjuangkan. Tak ada yang harus dipertahankan. Bagiku semua itulah ilusi. Bukan khayalku. Tapi nyataku. Selamat beranjak dari kenyataan.


Komentar