Berakhir di penghujung senja (surat tersimpan part 2)


       Coklat melty menghiasi setiap potongan kue berwarna keemasan yang menggoda untuk disantap. Ditambah dengan ice cream strawberry yang menjadi pelengkap diatasnya. Yummy, cake cochry. Sya, masih ingat cemilan favoritmu itu ? duh, sekarang semakin asooy rasanya.
          Cafe morina, tempat yang gak pernah lepas dari kaum remaja, muda-mudi yang berkumpul bersama teman-teman, ceria sana sini, dan tempatnya anak remaja kasmaran. Tapi tidak dengan ku, yang lagi-lagi datang sendiri, seperti mencari sepasang sepatu yang lepas entah dimana. Kamu dan lagi-lagi kamu, Sya. Tempat ini kembali mengingatkan kenangan aku denganmu, Sya. Entahlah, siang ini, kakiku melangkah dan memilih untuk singgah ketempat ini. Mungkin, kakiku pun merasakan apa yang aku rasa, Sya. Rindu.
          Ice cream merah jambu yang terus mencair, semakin bercampur dengan  coklat melty, membuat selera memuncak. Namun apa daya, sendok dalam genggaman tak segera mendarat. Hanya kenangan masa laluku yang mendarat lebih cepat kepiring saji itu. Lamunanku tak hentinya mengabur, tetap dalam pandangan di satu titik, tertuju di satu piring, 'cake cochry' yang seakan berteriak untuk segera dimakan oleh sang pembeli.
          Ku fikir, 'cake cochry' itu sayang untuk ku gores, Sya, apalagi aku santap. Mengenang itu sakit tapi asik, Sya. Aku bisa menjelajah masa lalu tanpa harus memikirkan keadaan sekarang dan kedepannya. Cafe yang tingkat keramaiannya tak pernah berubah, sama seperti pertama kali kita menginjakkan kaki di tempat ini, ramai, seramai saat ada kamu disini. ;')
          Tapi kali ini cake cochry tak lagi harus dalam keharusannya 'dimakan', aku membiarkan ice creamnya mencair, bercampur dengan gumpalan coklat diatas piring cantik itu. Seiring masa laluku yang terus menerus tergerus akan waktu. Apa daya siangku berubah sendu. Gumpalan awan-awan hitam menutupi kecerahan sang mentari dan sang langit. Perlahan gumpalan awan hitam itu mengeluarkan tetesan air kepermukaan bumi. Hujan.
          Pandanganku berpindah, lamunanku gusar. Kerap kali air dari langit jatuh ke tanah.  Aroma tanah basah beradu dengan aroma makanan di cafe ini. Hilir mudik dari indra penciumanku.
"hai" seketika ada yang memaggilku dari arah belakang.
(aku menengok dan ternyata itu ...)
"Riwan?"
"Giska."
"Iyaa, ngapain kesini ?"
"boleh duduk disini ?"
"Oh, iya sampe lupa. Maaf, silahkan"
"tadi lagi dijalan pulang kehujanan, yauda neduh dulu disini. Eh, ada lu. Lu sendiri ngapain disini, sendirian ?"
"Ooohh. Main aja, Wan. Hehe"
"kok sendirian?"
"lagi pengen sendiri aja"
"Ganggu dong"
"Eh, gak gak. ^^"
"serius?"
"Iya, Wan! Eh, gimana kuliahnya?"
"Gue udah gak kuliah, Gis. Gue kerja."
"loh kenapa, Wan ? Terus kerja dimana ?"
"biaya, Gis. Haha, jadi kerja aja deh, nanti kuliah lagi :D, kerja di salah satu perusahaan didaerah jakarta pusat."
"Oh, gitu. Sayang banget, Wan. kan bisa kuliah sambil kerja. Tapi, yasudah semoga yang terbaik :). Jauh banget, Wan"
"Aamiin. Dapetnya disitu. Lah lu sendiri gimana kuliahnya ?"
"Alhamdulillah lancar"
          Kami pun berbincang-bincang, sambil menunggu hujan mereda. Yeah, Riwan. Salah satu teman pria yang dekat denganku saat SMA dan satu-satunya pria yang paling care juga. Sya, ingatkan ? Siang itu suasana berubah menjadi penuh kehangatan, kehadirannya mendatangkan senyum dan tawaku, Sya. Riwan, ya, Riwan! Satu-satunya lelaki yang slalu berhasil menghadirkan senyum diatas airmata, menghadirkan tawa diatas luka. Syaaa, Riwan, Sya ;')
                                                                            ***
          Keesokan harinya di waktu yang berbeda, ditempat yang berbeda, namun hanya satu yang sama. Ingatan. Syaa, Sya. Riwan menghubungiku, ku kira dia tak punya nomerku. Dia mengajakku pergi, Sya, sore ini juga. Aku tak tahu ia akan membawaku kemana. Aku hanya mengiyakan ajakannya tanpa bertanya detailnya.
          Detik jam terus berputar ke kanan utara, mentari mulai meninggalkan tempat, burung-burung pun mulai kembali ke rumahnya. Aku terus menunggu. Dia. Pria yang berhasil datang kembali mengisi hati ini. Sya, menunggu. Senantiasa menunggu, siapapun termasuk kau. Aku slalu menunggu diantara senja dan gemerlap bintang. Aku suka, meski sering terluka.
"Gis, aku uda didepan" satu pesan dari, Riwan. Akhirnya ia datang juga, kukira ia tak akan datang, Sya. Seperti pekan lalu itu.
"Bun, aku pergi dulu ya. Riwan uda nunggu."
"Hati-hati"
"yuuk," ucapku seraya membetulkan sepatu.
"rapih amat neng, mau kemana?"
"hah?"
"Haha, udah yuk naik."
          Sore ini terlihat indah sekali. Pantulan sinar matahari menghiasi sang awan dan langit, merubah semuanya menjingga. Indah sekali. Ah, Sya. Senja. Senja. Aku slalu jatuh cinta. Perasaanku leleh seketika bak ice cream. Sore ini hanya berdua, Sya. Hanya ada aku dan dia. Menelusuri jalan, sepanjang bentang senja, mata memandang penuh kagum. Subhanallah.            




          Waktu yang tepat. Bersama seseorang yang aku sayang.
"Hah? Apa-apaan aku ini. Bagaimana bisa terlintas fikiran seperti itu. Gak, gak, gak bisa. Sya, apa ini ? aku ? aku mulai menyukainya lagi ? tidaaaak" gerutu dalam hati.
"Gis."
"apa, Wan?"
"uda sampai."
"Oh, oke. Dimana ini?" aku turun dari motor kerennya. Haha.
"belum pernah kesini ?"
"belum, ini dimana ? jangan macem-macem lu, Wan."
"disuatu tempat. Yaampun masih aja nething sama gue!"
"takut, Wan."
"gue gak gigit, Gis. Udah ayuuk jalan." dia menggenggam tanganku, Sya. Hatiku mulai terenyuh lagi. Oh, syaa. Apa ini /o'o\
"iya, iya" aku terus melihat kanan, kiri. Asing sekali.
"tenang aja, Gis. Percaya deh."
"hem. Oke." jawabku tak meyankinkan.
          Jantungku terus berdebar, tak henti hentinya. Mengalahkan kencangnya genggaman ia. Udaranya sejuk, suasananya nyaman banget. Ada beberapa pohon rindang, dan kumpulan bunga cantik menghiasi tepi jalan. Aku melangkah perlahan, menikmati suasana ini, yang mungkin tak akan aku dapati lagi. Bersama dia.
          Sya, ini indah sekali. Seperti mimpi, asli ini seperti mimpi. Syaaa, aku menjatuhkan airmataku. Bukan karna sedih, tapi ini rasa haru yang tertahan. Aku, akuu, ah entahlah susah diekspresikan. Aku yakin kamu lebih tahu wajahku seperti apa. :')
"gimana, Gis?"
"ini, ini luar biasa, Wan." aku melepaskan genggamannya.
":)" ia tersenyum, seraya duduk di tepi danau, menghadap senja."
Yah, Sya. Danau. Keren, Sya. Pokoknya kamu harus kesini, terus kita hunting bareng, nyanyi-nyanyi bareng. Ah, semuanyaaa sama kamu! harus, Sya. Harus.
"Wan, makasih banyak." aku menghampirinya dibangku yang terbuat dari kayu djati itu. Pemandangan yang luar biasa, aku mengusap telapak tangannya, dan berkali-kali berucap "terimakasih, Wan."
"sama-sama, Gis. Gue tau kalo lu suka banget sama sesuatu keajaiban alam."
"tau?"
"Iya, setiap gue baca puisi lu, lu selalu menuliskan ilusi alam. Apapun itu."
"puisi?"
"iya, maaf gue baca-baca puisi lu."
"kok bisa? dimana?"
"blog"
          Saat itu juga aku mulai berfikir dan sadar, apa dia yang slama ini mengirimi aku e-mail, setiap kali aku ngepost tulisan keblog ? seketika hening. Aku penuh tanya, ingin segera terjawab, tapi bibir tak segerakan berkata. Tertahan. Sulit. Aku takut, itu bukan dia, aku takut itu cuman khayalanku, dan aku memutuskan untuk tidak bertanya dengannya.
          Senja perlahan memudar, aku masih saja terdiam. Tak bicara dengannya, begitupun dia. Entah apa yang salah sebelumnya. Kemudian, aku mencoba untuk beranjak dari tempat duduk itu, aku ingin sendiri. Aku ingin menikmati sesaat sebelum senja pergi. Namun, tertahan. Riwan menahanku. Ia menarik tanganku.
"kenapa, Wan?"
"mau kemana?"
"mau pindah tempat, gue rasa lu butuh sendiri"
"enggak, gue cuman butuh lo, Gis. Jadi, plis tetep disini."
Sya, denger, Sya, denger. Dia bilang gitu, Sya. Tanpa sedikitpun memalingkan wajahnya ke aku. Ia tetap terfokus dengan sang senja. Akupun kembali duduk menemaninya.
"hah? oke?"
beberapa menit berlalu, masih tetap terdiam. Aku mengernyitkan dahi dan mulai berbicara.
"aku datang hanya untuk disuruh diam?" tanpa begerak meliriknya.
"heem, Oke.!" dia menatapku, Sya.
"(mengernyitkan dahi, seolah bertanya apa)"
"Gis,"
"ya?"
"(menggenggam tanganku lagi, dengan erat)"
"Gue gak bisa lagi bohong, udah saatnya gue jujur." terus menatap dengan penuh keyakinan.
Dengan santainya aku menjawab, "bohong ? jujur ? mengenai apa, Wan ?"
"Gue, Gue, Gue SAYANG sama Lo!" dengan lantangnya.
*Gleeeek* aku melepas genggamannya, entah apa yang terjadi sebenarnya, senja seakan melahap habis suasana indah yang ada. Antara haru, senang, sedih, marah. Ah, gak jelass pastinya apa. Sya, aku butuh kamu :".
"jangan bercanda, Wan. Kita baru ketemu lagi setelah dua tahun gak ketemu. Mana bisa."
"gue serius, Gis. Perasaan ini uda lama. Sejak ketemu lo di cafe itu, harapan gue seakan bangkit, Gis. Ini waktunya, tampungannya uda gak kuat lagi. Maaf, kalau ini bikin lo kaget."
Ah, Sya. Aku harus gimana. Aku takut ini hanya sesaat. Aku takut semuanya hanya sementara. Takut, Sya. Takut.
"gue takut, Wan."
"kenapa?"
"Maaf, Wan." Airmataku tak terbendungkan, mulai membasahi pipi dan aku pun pergi menuju parkiran motor, aku ingin segera pulang dan memastikan ini hanyalah mimpi.
"Gis?" mencoba menarik tanganku namun terlepas.
          Tanpa aku berucap. Riwan tahu aku ingin pulang. Riwan melihat airmataku jatuh. Riwan tahu aku tak bisa menjawabnya. Riwan tahu aku kaget dan tak menyangka. Riwan, Riwaaan. Ah, Sya :"
          Aku tahu ada rasa kecewa dalam dirinya. Tapi maaf, aku gak bisa. Sya, kamu tahu kan. Aku terlalu takut untuk memulai. Aku perlu waktu. Maaf, tak ada maksud sedikitupun untuk melukainya. Aku sendiripun bingung dengan semua ini. Aku masih terlalu takut. Entah, aku sulit menjelaskannya. ;')
          Senja memudar, hari mulai gelap. Airmataku larut dalam suasana yang tak bisa dijelaskan ini. Riwan, aku tahu perasaanya. Ia membawaku berlari cepat dengan motor ninja putihnya. Tak ada sepatah katapun sepanjang perjalanan pulang. Aku terus berderai airmata. Entah apa yang ada dalam pandangan, Riwan saat itu. Aku harap dia bisa mengerti.
          Perasaan itu lenyap seketika,Sya, berakhir di penghujung senja. Entah bagaimana nantinya. Aku percaya senja membawanya pada satu titik kebahagiaan. Iya kan, Sya ? Entah bahagia bersama, atau bahagia dengan tidak bersama. Tuhan tahu yang terbaik.


                                                                                                         I'm Sorry
                                                Sampai berjumpa dengan senja yang penuh magis,
                                                                                                Thank you, Riwan
                    Giska, 11 januari 2014, ditempat terindah yang pernah kau tunjukkan.

Komentar